Kakek Berkuda

6.3K 618 11
                                    

"HAHAHAHA!" Suara menggema terdengar memekakan telinga. Sumbernya dari sesosok Raksasa yang baru saja muncul. Tingginya bahkan melebihi pohon itu. Tubuhnya dipenuhi rambut berwarna merah, lengkap dengan kuku yang panjang dan taring yang masih meneteskan darah.

"Wah, ada makanan baru," ucapnya dengan suara besar dan menggema.

"Aku mau titipkan anak ini," ucap Si Wanita Hitam.

"Kenapa tidak kau bawa ke tempatmu?" tanya Raksasa itu.

"Anak buahku yang bodoh malah memberitahu tempat persembunyianku. Mereka sempat datang dan mengambil salah satu tahananku," jelas Si Wanita Hitam.

"Hahahaha memalukan kalah dengan burung kuning itu," ejek Raksasa itu.

"Sudah! Jangan hina saya terus. Berani tidak saya titipkan anak ini?"

"Boleh, tapi jangan terlalu lama, nanti saya santap anak ini," ucap Raksasa itu disertai tawa.

"Baiklah, saya titipkan sampai semua urusan selesai." Dalam sekejap, Wanita Hitam itu menghilang. Meninggalkanku dengan Raksasa itu.

"Bawa dia masuk!" Anak buah si Raksasa melepaskan tali yang mengikatku, lalu memegang kedua tanganku. Ia menyuruhku untuk berjalan mendekati batang pohong. Di sana ternyata ada sebuat pintu menuju ke sebuah ruangan.

_______

Ruangan yang di dalamnya terdapat banyak anak kecil seumuranku. Hanya saja wajahnya terlihat lebih pucat. Mereka semua menangis dan berteriak minta tolong.

Ayah! Ibu! Kakak! Nenek!
Tolong ....

Suara mereka saling bersahutan.

"Tempat apa ini," tanyaku dalam hati, yang hanya bisa terdiam, meringkuk, sambil menutup telinga. Berharap semua ini tidak lah nyata.

Ada sentuhan dingin menjalar di tangan. Kubuka mata, ternyata ada seorang anak perempuan duduk di sampingku. Aku terkejut, langsung mengambil posisi duduk.

"Kenapa tanganmu dingin sekali?" tanyaku.

"Karena semua yang ada disini sudah mati," jawabnya.

"Berarti aku juga sudah mati?" tanyaku.

"Badanmu hangat, seharusnya kamu belum mati," jelasnya. "Bagaimana kamu bisa sampai sini?"

"Seorang wanita jahat membawaku kemari," jawabku.

"Sepertinya mereka ingin menjadikanmu tumbal."

"Tumbal?"

"Ya, seseorang ingin membunuhmu, untuk kepentingannya pribadinya."

Sontak aku menangis saat mendengar ucapannya itu. "Ibu! Abah! Kak Akbar! Tolong Dani ...." Aku berteriak sekencang mungkin.

"Percuma mereka tidak akan mendengarmu, berdoa saja mereka segera menemukanmu."

Sesosok makhluk besar berbulu hitam, masuk ke dalam ruangan, mengambil seorang anak. Anak itu berteriak, meronta-ronta, menolak untuk dibawa. Sementara anak yang lain, memohon-mohon untuk tidak ikut dibawa.

"Mau dibawa ke mana dia?" tanyaku.

"Sebelum masuk, apakah kamu melihat anak-anak yang tergantung di pohon."

"Ya, kasian sekali mereka."

"Mereka itu akan dijadikan makanan untuk si Raksasa," ucapnya dengan wajah sedih. "Mungkin tidak lama lagi giliranku."

"Mungkin juga aku."

"Kamu belum mati, tidak mungkin mereka memakanmu." Ia terdiam sejenak.

"Anak-anak di sini adalah korban kebiadaban orang tuanya. Mereka memberikan kami sebagai tumbal agar hidup mereka jauh lebih baik," lanjutnya dengan wajah sedikit marah.

"Kamu juga?"

"Ya, ayahku mengorbankanku demi uang."

"Sudah berapa lama kamu di sini?"

"Aku tidak ingat," jawabnya.

Setelah itu kami pun banyak mengobrol. Aku lebih banyak diam ketika ia mulai menceritakan kehidupannya dulu. Hingga akhirnya ia bisa sampai ke tempat ini.

_______

"Mama!" jeritan seorang anak mengagetkanku. Arahnya dari pintu masuk. Ternyata ada seorang anak sedang diseret oleh anak buah Raksasa itu. Namun mataku teralihkan oleh seorang anak yang duduk di depan, dekat pintu.

"Rian? Apakah itu dia?" pikirku. Aku ingin memastikan apakah itu benar Rian. Namun ada  seorang penjaga di dekatnya.

DUAG! ARGH!
DUAG! AMPUN!

"AMBIL ANAK ITU!" Suara yang sangat besar terdengar dari arah luar, sepertinya dari Raksasa itu. Tak lama, kulihat ada anak buahnya yang mendekat. Kemudian membawaku ke luar ruangan.

"Lepaskan! Lepaskan!" Aku terus meronta-ronta.

"Jangan makan saya. Abah tolong." Tangisku diikuti anak lainnya, termasuk teman baruku. Sampai di barisan paling depan, sekilas aku melihat ke arah anak yang diduga Rian itu.

"Benar, itu Rian!" ucapku dalam hati.

"Lepaskan. Sakit!" Makhluk itu menarik lenganku kencang sekali. Bahkan kukunya yang tajam sampai membuat kulitku berdarah. Aku hanya bisa menangis sambil memegang tangan.

"Kamu apakan anak ini?" tanya Seorang kakek tua, sesaat setelah aku ke luar.

Kakek itu mengayunkan pecut yang berkilau ke arah makhluk yang membawaku tadi.

"Argh!" teriak makhluk itu, langsung terkapar.

"Sini, Nak! Ikut kakek." Kakek itu mengajakku menaiki kuda putihnya. Aku memeluknya dari belakang, tubuhnya wangi sekali. Kuda itu berlari sangat kencang sekali. Saking kencangnya sampai tak sadar sudah sampai di kamarku.

Kakek itu membantu turun. "Sudah sampai, sekarang kamu bisa bermain dengan teman-temanmu lagi."

"Kakek, ke mana Raksasa tadi? Kok menghilang?" tanyaku.

"Dia sudah pergi, tidak akan pernah mengganggumu lagi," jelas Kakek itu. "Sekarang kamu harus lebih hati-hati, jangan terlalu percaya ucapan mereka."

"Iya, Kek."

"Kakek pergi dulu, salam buat abahmu."

"Kakek kenal abah?" tanyaku. Kakek itu hanya membalas dengan senyuman lalu menghilang. Tiba-tiba ada cahaya yang menyilaukan masuk ke dalam kamar. Spontan aku menutup mata.

Ketika membuka mata, sudah ada abah dan ibu di hadapanku. Aku pun menangis dalam pelukan mereka.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang