Dirga

7K 612 24
                                    

"Dan, nanti sore maen ular tangga, Yuk!" ajak Randa, anak tetangga depan rumah.

"Hayu, ajak yang lain tapi ya, biar rame," balasku.

"Kan cuman bisa berempat."

"Ya kan bisa ajak Fahrul sama Indra."

"Ya udah, kamu aja yang ajak."

Walaupun Randa ini tinggal di depan rumah, tapi kami jarang main bersama. Mungkin karena dia termasuk anak rumahan, yang tidak boleh ke luar jauh dari rumahnya.

Habis Ashar, kami mulai bermain, duduk di balai kayu depan rumah Randa. Permainannya seru, sampai kami lupa kalau sebentar lagi waktu magrib.

Bu Ani sudah memanggil Indra untuk segera pulang. Ia pun bergegas berlari ke rumahnya.

"Duh padahal bentar lagi selesai," ucap Randa.

"Iya, maen pulang aja dia," timpalku.

Tak lama, adzan magrib berkumandang.

"Dani! Pulang!" Ibu berteriak dari depan rumah.

"Iya bentar," sahutku.

Yah, walaupun teror Nek Ipah itu sudah tidak ada lagi, tapi memang sebaiknya anak-anak tidak berada di luar rumah ketika magrib. Soalnya kata Pak Ustad, kalau magrib banyak jin yang berkeliaran.

"Dah bubar, pulang, Yuk!" ajak Fahrul.

"Iya, udah diomelin juga," balasku.

Saya bersiap-siap pulang, mencari sendal di kolong balai. Tak ada!

"Loh, sendal ke mana ini?" tanyaku bingung

"Rul, Nda, liat sendal gak?" sambungku.

"Enggak liat," balas mereka kompak.

"Aduh ini pasti kerjaan si Indra." Aku pun pulang tanpa menggunakan sendal, berjalan perlahan karena banyak kerikil.

Baru masuk ke halaman, tiba-tiba terdengar ....

Stt! Stt!

Aku celingak-celinguk mencari sumber suara itu. Ternyata arahnya dari rumah Indra.

"Ah, benerkan si Indra yang ngumpetin sendal," pikirku.

"Lihat aja nanti!" Aku kesal, lalu lanjut berjalan.

Stt! Stt!

Kali ini diikuti suara tawa anak kecil. Jelas sekali suaranya dari samping rumah. Saat kulihat ke atas pohon mangga. Ternyata ada sesosok anak kecil sedang duduk di sana. Melambaikan tangan.

Takut. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Namun, ibu sudah menghadang di balik pintu.

"Dani! Kalau gak pake sendal jangan langsung masuk rumah," omel Ibu.

"Cuci kaki dulu sana!" imbuhnya.

"Tapi, Bu," balasku.

"Buruan cuci kaki dulu di kamar mandi," perintahnya lagi.

"Tadi Dani pake sendal kok, Bu. Terus diumpetin Indra." Aku berusaha membela diri. Tak ingin pergi ke kamar mandi, karena harus melewati samping rumah. Apalagi setelah melihat anak kecil di atas pohon mangga.

"Jangan bohong. Ibu liat sendalnya ada di pintu belakang kok," balas Ibu.

"Kok bisa?" tanyaku bingung.

"Udah, cuci kaki sana!"

Cukup lama aku hanya berdiri di teras. Memikirkan apa langkah yang akan kuambil. Sebuah ide muncul. Kenapa tidak lari saja?

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang