[1]

2.7K 162 143
                                    

"Emang kak Bri nyebelin!"

Seulgi menggerutu kesal setibanya ia di sebuah halte bus yang nampak ramai dipenuhi orang-orang. Beruntung halte bus ini hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya, sehingga bus pertama pagi ini masih bisa ia kejar.

Gadis itu sesekali memperhatikan jam berwarna putih yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, berharap sekali jarum jam itu berputar mundur selagi ia menunggu bus yang tidak kunjung tiba.

Lima menit berselang, bus yang gadis itu tunggu akhirnya datang, membuat ia bergegas menegakkan tubuhnya untuk kemudian menerobos masuk ke dalam bus dengan saling berdesakan.

Seulgi menggigit bibirnya kesal saat tidak ada satu kursipun yang berhasil didapatkannya, tatapannya mengedar ke seluruh penjuru bus yang ternyata sudah separuh terisi di halte sebelumnya. Tidak ada pilihan lain, perjalanan menuju kampusnya harus ia habiskan dengan kaki pegal akibat terpaksa berdiri.

"Ck, tau gini mending nebeng Lucas aja!" kesal Seulgi sembari mengambil binder dari dalam ranselnya.

Dalam waktu kurang dari dua puluh menit lagi kelasnya akan dimulai, dan berhubung jadwal hari ini adalah ujian teori, maka dari itu Seulgi menyempatkan diri untuk mempelajari lagi rumus-rumus yang sudah ia catat dengan rapi.

Seulgi begitu larut dalam bacaannya, mengabaikan keadaan sekitar yang sudah penuh sesak hingga tidak sedikitpun sadar bahwa sang sopir bus mendadak memekik panik sambil membunyikan klaksonnya berulang kali.

Tinnn tinnn tinnn~ Ckittt!

Bunyi bising dari klakson dan rem yang diinjak kuat-kuat membuat Seulgi tersentak kaget hingga tanpa sadar membuat binder dan pegangannya pada handle grip bus terlepas begitu saja.

Kilas balik masa kelamnya mendadak datang tanpa dapat ia kendalikan, membuat Seulgi lantas memejamkan matanya dengan takut dan berakhir dengan kehilangan keseimbangan tubuhnya sendiri.

Bruk!

Pikirannya masih begitu penuh antara takut dan terkejut. Tidak ada apapun yang bisa ia cerna untuk saat ini. Tidak pula bunyi detak menenangkan yang dengan magis membuat hatinya yang sudah lama mati mendadak terasa kembali hidup.

Tanpa sadar Seulgi semakin menyembunyikan wajahnya pada detak menenangkan itu, bergerak kian mendekat pada objek yang sukses membuat benak kacaunya berpikir bahwa itu adalah tempat terbaik untuk ia menghabiskan sisa umurnya.

Bunyi detak yang awalnya ia yakini sebagai miliknya sendiri. Meski pada kenyataannya, tidak seperti itu.

"Hiks.."

Dan katakan Seulgi tidak waras kali ini, karena air matanya bahkan sudah mendesak keluar tanpa dapat ia tahan saat sesuatu yang terasa kokoh melingkari punggung rapuhnya. Seulgi rindu perasaan seperti ini. Ia rindu merasa baik-baik saja.

"Lo gak papa?"

Pertanyaan yang sarat akan nada khawatir itu tak ayal membuat Seulgi yang masih larut dalam isakannya seketika tersadar. Wajahnya dengan cepat terangkat dan lantas terpaku saat menemukan sepasang netra berwarna cokelat terang tengah balas menatapnya cemas.

Waktu terasa berhenti disekelilingnya. Terlebih saat sosok tampan yang ia peluk dengan erat itu bergerak dengan lembut mengusap air mata yang berjatuhan di pipinya.

"Ada yang sakit?"

Seulgi masih bungkam, memperhatikan dengan seksama paras tampan lelaki yang baru pertama kali ia temui itu. Apa Seulgi sekarang tengah lelaki ini khawatirkan?

"Kalo ada yang sakit bilang aja," lanjut lelaki itu sambil mengusap kembali sisa-sisa air mata di sudut mata Seulgi, membuat dada gadis itu kian terasa sesak akibat debaran menyenangkan.

Heartbeat [M]Where stories live. Discover now