[2]

929 133 117
                                    

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari saat Jimin berbaring dengan hanya beralas beberapa potongan kertas dan kardus yang tersebar di lantai dingin studio.

Matanya menatap langit-langit studio dengan pandangan kosong saat ingatannya melayang pada kejadian tadi pagi dimana ia dengan tanpa ragu sedikitpun langsung melakukan klaim atas gadis yang ia inginkan di hadapan teman-temannya.

'Tapi dia tatoan dan rutin ke psikiater?'

"Iya, gue tau..." lirih Jimin sambil mengusap gusar wajahnya, menjawab suara pikirannya sendiri.

Ia mengerti bahwa resiko besar mungkin akan menghadangnya jika ia nekat melanjutkan apa yang telah diperingatkan oleh otaknya.

Tapi sekali lagi, bayangan tentang senyum gadis itu berhasil mengalihkan perhatian Jimin. Membuat ia lupa untuk berpikir dengan jernih, terlebih kala melihat tawa manisnya berderai.

Natural sekali, Jimin rasanya tidak pernah melihat tawa yang selepas dan secantik itu pada beberapa gadis lain yang selama ini selalu berada di sekelilingnya.

'Tapi dia tatoan dan rutin ke psikiater?'

Jimin mengerang frustasi saat bisikan mengenai dua perkara yang menjadi objek overthinkingnya malam ini kembali berseru nyaring di pikirannya.

"YA TERUS KENAPA?!" teriaknya marah, membangunkan June yang baru beberapa saat lalu berhasil menyambangi alam mimpinya.

"Ngapain sih lu berisik amat?!"

June berdecak kesal dengan mata merahnya yang nampak sayu. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak setelah hampir sebelas jam tanpa henti mengerjakan sebuah proyek besar yang harus mereka selesaikan secara berkelompok sebelum Ujian Tengah Semester berlangsung.

"Ck, sorry."

Jimin bangkit, melengos cepat melewati pintu studio perancangan sambil merogoh saku celana pendeknya, mengambil batangan nikotin manis yang selalu setia menemaninya ketika suntuk.

******

"Malam ini gak usah ikut manggung, ya?"

Mata Seulgi yang tadinya terpejam erat menikmati gerakan tidak teratur dari tangan Brian yang tengah mengobrak-abrik wajah mulusnya menggunakan brush masker sontak saja terbuka lebar saat mendengar penuturan dari kakak tersayangnya itu.

"Kenapa?"

"Temennya Dowoon mau ngerayain ultah di club, terus katanya minta supaya enam hari band tampil disana."

"Huh? Gak salah ngundang bintang tamu apa?"

Brian mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Gak ngerti juga, anak dugemnya lagi pada patah hati kali."

Seulgi mendecak pelan. "Ya udah kalo gitu aku tunggu disini aja, nanti jemput kalo acaranya udah bubar."

"Disini dingin terus banyak nyamuk, mending langsung pulang aja, lagian jarang-jarang kan waktu kamu bisa selonggar hari ini."

Brian lanjut menyapukan brushnya saat mata sipit yang serupa dengan miliknya itu kembali menutup. Bengkel besar yang Brian bangun turut dilengkapi dengan sebuah studio musik yang memiliki berbagai macam peralatan yang cukup lengkap sebagai tempat bandnya biasa melakukan latihan di antara waktu senggang mereka.

"Tapi nanti orang rumah yang pada pergi kalo aku pulang cepet."

Gerakan tangan Brian lantas terhenti. Ditatapnya wajah mulus adiknya yang penuh dengan masker organik berwarna hijau itu dengan sendu.

Mumpung mata gadis itu terpejam, ia jadi bisa melakukan hal ini dengan leluasa. Karena jika sedang berada di situasi normal, Seulgi adalah pribadi yang menolak keras untuk dikasihani.

Heartbeat [M]Where stories live. Discover now