[6]

901 116 103
                                    

Brian rasanya ingin mengumpat berkali-kali pada satu pepatah populer yang mengatakan bahwa waktu akan berjalan cepat jika kita menikmatinya dan berjalan lambat jika kita tidak menikmatinya.

Hal itu bohong, karena saat ia tidak lagi menginginkan hari ini datang, waktu ternyata tetap berlalu begitu cepat meski ia sudah terjaga hampir semalaman. Mempertemukan ia lagi pada pagi yang sekarang dibencinya.

"Belum bangun juga, bang?"

Brian mengangkat kepalanya dan menemukan Jimin yang tengah berjalan ke arahnya sambil mengusak rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil.

"Belum, Jim."

Jimin lalu ikut duduk bersandar pada pintu kamar Seulgi yang tertutup rapat, mengambil tempat di sebelah Brian yang kembali sibuk mengutak-atik ponselnya. Lelaki itu pagi ini nampak berpenampilan santai dan rapi, ransel besar teronggok di samping kakinya.

"Biasanya emang susah dibangunin juga atau baru kali ini?"

"Emang rada susah, tapi gak pernah sampai kaya gini." tukas Brian singkat.

Jimin tidak lagi membuka obrolan, hanya matanya yang bergerak cepat mencuri pandang pada layar ponsel Brian yang tengah menampilkan ruang chatnya bersama Seulgi.

Ruang chat yang seluruhnya penuh akan bubble berwarna biru di sebelah kanan, tanda hanya Brian lah yang mengirim pesan sedari tadi tanpa ada satupun balasan dari adiknya yang tengah ia ajak bicara.

Untuk beberapa lama keheningan menyapa mereka, hingga pada akhirnya Brian menyerah, menurunkan ponsel dan menyandarkan kepalanya dengan lesu pada pintu.

Melihat bagaimana frustasinya Brian saat ini, membuat semua orang yang tidak tahu bahwa ia dan Seulgi adalah kakak beradik pasti akan mengira jika lelaki itu tengah bertengkar dengan kekasihnya.

"Gue salah banget kemarin."

Jimin bergeming, memperhatikan Brian yang menutup matanya dengan kening mengernyit dalam.

"Gue nyesel udah ngomong gitu, Jim. Sekarang situasinya pasti bakal makin buruk karena gue harus pergi sementara kita belum baikan."

Jimin menggaruk belakang kepalanya bingung, ia juga tidak tahu harus melakukan apa agar keadaan seniornya itu membaik. Ingin berbicara tapi takut salah.

Cklek

Pintu terbuka tiba-tiba, hampir membuat Jimin dan Brian terjungkal ke belakang. Mereka serempak menoleh dan mendapati sosok cantik berdiri memandangi mereka dengan ekspresi wajah datar.

"Seulgi?"

Brian tersenyum cerah, bergegas bangkit dari posisinya saat ini dan langsung memeluk tubuh ringkih adiknya tanpa aba-aba. Rambut setengah basah Seulgi diusapnya lembut.

"Maaf buat yang kemarin, maaf udah nyakitin kamu. Kakak gak maksud, Gi. Gak pernah sedikitpun bermaksud ngeremehin kamu."

Seulgi bergeming, perkataan bernada tinggi Brian kemarin masih segar diingatannya. Berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak.

Sudah terlampau sering ia dianggap remeh oleh keluarganya sendiri, dan Seulgi tidak masalah jika Brian pun pada akhirnya menyerah menghadapi keadaannya yang sakit dan merepotkan.

"Kakak dimaafin, kan?"

Kata-kata beracun di mulutnya ia telan susah payah, dadanya nyeri, tapi itu hanya kiasan, jadi ia tidak apa-apa.

Seulgi pernah menelan racun yang sebenarnya, membuat tenggorokan dan perutnya terasa seperti terbakar selama tiga hari penuh, dan ia masih baik-baik saja.

Heartbeat [M]Where stories live. Discover now