Four - [b]

140 42 12
                                    


Keringat dingin kembali mengalir, membasahi wajah dan punggung seorang Atma Sanjaya. Kedua tangan yang bertengger di atas setir mobil pun tak luput dari serangan keringat.

Kejadian itu sudah lama berlalu. Namun, dirinya tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayang mobil ringsek yang di dalamnya membawa sang istri bersama selingkuhannya. Kejadian yang merenggut istrinya. Menguak rahasia yang entah sejak kapan disembunyikan perempuan yang sangat dia cintai itu.

Dengan perlahan, Jaya menarik napas kemudian membuangnya. Menutup mata sambil menyugesti diri. Bahwa saat ini, dirinya hanya akan melalui sebuah jalur darat supaya bisa sampai ke sebuah kota.

Demi menyelesaikan tanggung jawab sebagai seorang laki-laki, yang menyanggupi diri untuk bekerja sebagai sopir pribadi. Ini benar-benar konsekuensi baginya. Hidupnya bergantung pada pekerjaan ini.

Bisa, Jaya. Lo bisa! Dia berteriak dalam hati. Melecut diri supaya menjadi berani dan menyelesaikan ini semua dengan cepat.

Perlahan, Atma Sanjaya menyalakan mesin. Lalu menginjak pedal gas. Membawa dirinya dan sang bos keluar dari rest area. Bersiap menghadapi jalur yang selama ini menjadi mimpi buruk selepas kepergian istrinya.

Sementara itu, di tempat duduk bagian belakang, Faranisa menatap Jaya dengan penuh kekhawatiran. Dia penasaran, apa yang membuat sopirnya itu tampak ketakutan untuk melewati jalanan ini. Apakah mereka mengalami hal yang sama? Kehilangan seseorang di kilometer ini?

Perempuan itu menggeleng, menyingkirkan pemikiran-pemikiran tak masuk akal yang membuatnya ingin bertanya secara langsung.

Sungguh.

Faranisa ingin bertanya, kenapa Jaya tampak tak bisa berkutik di kawasan ini? Namun, dia telan lagi mentah-mentah pertanyaan itu. Rasanya, terlalu lancang jika harus menanyakan sesuatu yang Jaya sendiri barangkali tak mau bercerita. Jika mau, sang sopir pasti sudah berbicara banyak sejak mereka memutuskan untuk istirahat tadi.

Sayangnya, Faranisa juga tidak tahu apakah laki-laki ini bisa banyak bicara. Sepanjang mengenal seorang Atma Sanjaya, dia hanya mendengar laki-laki itu berbicara sekadar untuk merespons ucapannya saja. Jika pun mengawali pembicaraan, benar-benar singkat dan seputar pekerjaan saja.

Pada akhirnya, dia membiatkan Jaya berkutat dengan apa pun itu yang ada dalam pikirannya sebelum mobil melaju dengan kecepatan di bawah rata-rata. Perempuan itu tidak keberatan sama sekali. Dia memiliki ketidaknyamanan yang sama dengan sang sopir, sehingga bisa memakluminya. Menekan seseorang yang sedang tidak baik-baik saja tentu akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik pula. Lebih daripada itu, Faranisa berusaha tenang meski jantungnya berdetak tak karuan saat mobil akhirnya berada di titik peristiwa yang merenggut cintanya.

Benar.

Faranisa masih mengingat dengan jelas peristiwa itu, termasuk titik di mana sang kekasih meregang nyawa akibat bertabrakan dengan kendaraan lain.

Napasnya mendadak sesak. Keringat dingin pun bercucuran. Cengkaramannya begitu kuat di atas paha, meyakinkan diri sendiri bahwa lintasan ini akan segera berlalu. Begitu pun dengan memorinya tentang Gibran.

"Mbak!"

"Hah?" Faranisa ngos-ngosan. Tersadar oleh teriakan sang sopir yang begitu menusuk telinga. Teriakan yang berhasil menariknya kembali pada kesadaran.

"Mbak nggak apa-apa?" Jaya memperhatikan sang bos sambil bergantian melihat ke depan. Mereka masih berada di jalan tol, jauh dari rest are, dan tidak ada tempat pemberhentian darurat. Jadi, Jaya tidak bisa berhenti meski ingin sekali menenangkan perempuan yang tampak kepayahan ini.

Sementara itu, Faranisa meraup napas banyak-banyak. Dadanya terasa sangat sesak meski air conditioner di dalam mobil menyala dengan cukup.

Setelah berhasil menenangkan diri, dia melihat ke arah Jaya dengan tatapan sayu. "Saya nggak apa-apa."

"Mbak yakin?" Jaya memastikan.

Faranisa mengangguk. "Mas Jay ikutin GPS aja. Udah sesuai, kok. Saya mau coba tidur sebentar."

"Iya, Mbak. Mbak istirahat aja. Saya akan bangunkan kalau sudah sampai."

Jaya mengembuskan napas lega saat Faranisa telah memejamkan mata ketika dia meliriknya dari kaca spion. Dia tidak tahu sakit apa yang dialami sang bos. Yang pasti, kejadian ini menimbulkan rasa penasaran. Bagaimana mungkin dia dan Faranisa mengalami guncangan saat melewati tempat yang sama?

Apa yang sebenarnya terjadi?

***

The Boss' AdmirerWhere stories live. Discover now