Five - The Boss' House

163 36 14
                                    

Jaya dan Faranisa bisa menghela napas lega saat akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Di sebuah rumah sederhana dan tampak asri. Luasnya, Jaya perkirakan, tidak mencapai seratus meter. Ukuran bangunannya juga cukup kecil, hanya ada beberapa ruangan yang semuanya difugsikan. Namun, halaman depan dan samping kanan rumah ini cukup luas dan sangat menyegarkan untuk dipandang.

Berbagai tanaman, warna-warni bunga, membuat Jaya melupakan kekalutan yang sempat menguasainya di jalanan tadi. Dia mendadak tenang hanya dengan menghirup aroma bunga-bunga yang sedang bermekaran, bercampur dengan harumnya teh panas yang disediakan pemilik rumah.

"Diminum, Nak."

Jaya mengangguk, tak lupa menyunggingkan senyum kepada perempuan paruh baya yang terlihat sangat mirip dengan bosanya. Kecantikan yang tak luntur dimakan usia. Dari sana dia tahu bahwa wajh cantik sang bos berasal dari ibunya.

"Terima kasih, Bu."

"Istirahat sebentar, habis itu makan, ya. Sebelum berangkat, Ara ngabarin Ibu. Sekalian minta tolong dimasakin, katanya dia bawa teman."

"Ah," Jaya menggaruk tengkuk malu, "tidak perlu repot-repot, Bu."

"Tidak repot. Saya dibantu uwanya Ara, kok. Sudah biasa masak juga."

Fakta bahwa Faranisa menyebutnya teman kepada perempuan paruh baya ini membuat Jaya merasa malu. Jantungnya berdebar sangat kencang. Meski bingung mengapa Faranisa tidak menyebutnya sebagai sopir saja, Jaya tetap merasa tersentuh.

"Ara?" Kebingungannya tersuarakan sedikit terlambat, terapi rasanya ini lebih baik daripada tidak terjawab. Selama ini, dia memanggil sang bos dengan nama lengkap. Mengetahui bahwa perempuan itu mempunyai nama panggilan tersendiri, membuatnya ingin memanggil seperti itu juga. Namun, pasti tidak mungkin. Seorang Faranisa yang merupakan bosnya, tidak akan mungkin mengizinkan dirinya menggunakan panggilan tersebut.

"Nama kecilnya Faranisa," sahut ibu sang bos.

Jaya mengangguk. Datang ke tempat ini, membangkitkan segala tanya yang ingin dia dapatkan jawabannya. Rasa penasaran yang membuncah membuatnya ingin meminta perempuan paruh baya di hadapannya untuk menceritakan segala hal tentang Faranisa. Namun, dia menyadari dirinya tak mempunyai hak untuk meminta hal tersebut. Yang bisa dia lakukan hanyalah berharap, barangkali, perempuan di hadapannya ini akan bercerita dengan sendirinya.

"Nak Jaya istirahat dulu saja, ya. Ibu ke belakang dulu. Kayaknya, sebentar lagi Ara selesai rapi-rapinya."

Jaya mengangguk, mempersilakan Ratna, ibu Faranisa, untuk beranjak ke dapur. Dia masih ingin mendengar banyak hal tentang bosnya itu, tetapi mungkin harus ditunda sampai siapa pun bersedia menceritakannya.

Sepeninggal Ratna, Atma Sanjaya berkeliling ruang tamu dengan matanya. Banyak yang membuatnya berhenti pada satu titik cukup lama, meneliti setiap detail benda yang dilihatnya. Lalu, pada satu jenis benda yang berjumlah banyak, yang terpajang dalam lemari kaca--tampak seperti penyekat antara ruang tanu yang dia tempati sekarang dan ruang lainnya. Figura berisi foto-foto sebuah keluarga harmonis.

Kaki-kaki panjangnya membuat cowok itu berdiri, lalu perlahan menghampiri lemari tersebut. Senyumnya mengembang, tampak terhibur oleh potret anak perempuan dalam berbagai pose. Hanya ada satu anak perempuan dalam setiap foto, itu berarti, foto-foto ini milik Faranisa.

Jaya tidak terkejut lagi jika perempuan itu mempunyai masa kecil yang sempurna. Keluarga bahagia, senyum yang sangat memesona, dan keperibadian yang cukup ramah. Semuanya terlihat dalam setiap foto masa kecilnya.

Benaknya tak berhenti memuji betapa cantik seorang Faranisa. Sejak kecil hingga dewasa kini, kecantikannya semakin memesona. Dia tak mengerti mengapa perempuan itu masih sendiri dengan segala pencapaian yang dimiliki. Namun, sekali lagi, dia mengingatkan diri sendiri bahwa setiap orang mempunyai prioritas masing-masing dalam hidupnya. Barangkali, Faranisa mengutamakan karir terlebih dahulu.

"Foto itu diambil sama ibu hamil yang ngidam aneh-aneh."

Jaya berbalik, rautnya terlihat cukup terkejut mendengar suara lembut sang bos menginterupsi kegiatannya memperhatikan foto-foto. Senyumnya kemudian merekah.

Faranisa mendekat. Tangannya menyentuh kaca, tempat foto seorang anak kecil kisaran usia tujuh tahun berpose; kedua jari telunjuk di pipi dan kepalanya dimiringkan, tak lupa senyum manis yang sangat indah.

"Ibu itu bilang, pengin nyimpen foto ini, biar anaknya nanti mirip saya."

Senyum yang tercipta kala Faranisa bercerita, menimbulkan debaran tak terduga pada Jaya. Pipi yang sedikit mengembang memberikan daya tarik tersendiri. Menghipnotis seorang Atma Sanjaya yang tak pernah lagi memedulikan perempuan mana pun yang mencoba mendekatinya.

"Mbak masih berhubungan dengan ibu itu?" tanya Jaya. Dia sadar bahwa dirinya tertarik pada sang bos, termasuk cerita yang mengikutinya.

Faranisa menggeleng dengan senyum yang masih melekat. Ingatannya menerawang ke masa lampau, saat seorang ibu yang sedang hamil muda memintanya untuk berfoto. Saat itu, Faranisa remaja beserta ayah dan ibunya sedang menuntaskan quality time yang jarang sekali mereka dapatkan. Faranisa ingin ke Kebun Raya Bogor, dan sang ayah mengabulkannya.

Ibu itu datang ketika dirinya sedang melahap es krim stroberi favoritnya, bersama seorang laki-laki tambun dengan kamera menggantung di leher. Belakangan dia tahu bahwa laki-laki itu adalah fotografer keliling yang menyewakan jasa foto kepada keluarga yang sedang liburan di sana.

Setelah diarahkan dengan berbagai gaya, ibu hamil tersebut akhirnya memilih pose itu untuk dicetak. Ayah dan ibunya tak mau menghilangkan kesempatan. Mereka turut mencetak. Katanya, Ara di foto itu terlihat sangat cantik.

Sayangnya, setelah itu, tidak ada komunikasi apa pun lagi di antara mereka. Faranisa juga tidak tahu bayi yang dilahirkan si ibu berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sebenarnya, dia juga sudah lupa wajah perempuan hamil itu. Namun, ingatan tentang ceritanya selalu terngiang-ngiang di benaknya. Entah mengapa, tetapi baginya, itu adalah pengalaman yang cukup unik.

Jaya mengangguk-angguk ketika Faranisa mengatakan bahwa dirinya tidak pernah lagi bertemu dengan ibu itu. Terkadang, pertemuan memang hanya terjadi satu kali.

"Kalau ini," Faranisa menunjuk foto ketika dirinya berusia tujuh belas tahun, "saya baru selesai lomba lari antarkomplek. Saya juara pertama, larinya paling cepat."

Senyum yang ada di wajah Faranisa, menular pada Jaya. Namun, laki-laki itu menyembunyikannya supaya tidak ketahuan sedang begitu antusias mendengarkan sang bos bercerita.

"Waktu sekolah, Mbak atlet, ya?"

Faranisa menggeleng. "Saya cuma terbiasa kabur sehabis jam makan siang. Jadi, ya ... begitu, deh."

Kedua mata Jaya membulat. Informasi yang baru saja dibagi oleh Faranisa benar-benar membuatnya tercengang. Demi Tuhan Pemilik Alam Semesta, bosnya tidak menunjukkan tanda-tanda orang yang terbiasa kabur--melewatkan sebagian kelas. Dia pikir, perempuan ini tipe si kutu buku yang hanya berteman dengan buku dan perpustakaan. Menjadi andalan dalam setiap mata pelajaran.

Bukan tukang kabur.

"Mas Jay kaget, ya?"

Atma Sanjaya tergeragap. Laki-laki itu mengusap tengkuknya sambil menunduk, lalu menjawab, "Sedikit, Mbak."

Jay sudah mulai terbiasa memanggil bosnya dengan sebutan Mbak saja, bukan Bu. Meski begitu, terkadang, panggilan ini membuatnya merasa lebih dekat dengan sang bos. Menimbulkan harapan-harapan yang tidak seharusnya dia tancapkan.

Jaya sadar, dia dan Faranisa tidak akan bisa lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Melihat perempuan itu mengerling sambil terkikik--menertawakan dirinya, membuatnya tidak lagi bisa memungkiri ketertarikan yang ada. Bahwa perasaan untuk sang bos benar-benar ada, beriringan dengan kenyataan yang menampar dengan sangat.

Rasa malu Jaya terselamatkan oleh panggilan dari ibu Faranisa. Keduanya diminta untuk segera ke meja makan, dan bergegas menyantap hidangan yang telah tersaji di atasnya.

The Boss' AdmirerWhere stories live. Discover now