Three - The Past

333 80 10
                                    

Setelah sekian lama, mas Jay dan mbak Bos akhirnya update. Jangan lupa vote dan komen, ya. Bagiin juga ke teman-temannya kalau berkenan. Hehe

Enjoy dan terima kasih💞

***

Tubuh Jaya sedikit gemetaran. Keringat timbul di dahi. Tangan yang memegang kemudi pun terasa basah dan licin. Beberapa kali laki-laki itu mengelapnya ke jaket parasut yang dia kenakan. Sama sekali tidak membuat tangannya kering.

Alih-alih mengeringkan, gesekan antara tangan dan jaket parasut itu membuat Faranisa terusik. Mengalihkan perempuan itu dari lamunan yang menyebabkan jantungnya berdetak tidak karuan.

Perempuan itu memperhatikan gerak-gerik Jaya. Dahinya mengerut ketika melihat penampakan wajah sang sopir dari samping. Penuh keringat. Juga tampak kesulitan untuk bernapas. Faranisa bingung, karena AC mobil menyala. Sirkulasi udara juga tidak buruk. Kenapa Jaya tampak gelisah dengan keringat bercucuran dan napas yang tersengal?

"Mas Jay sakit?" Faranisa mengambil inisiatif untuk bertanya. Dia melihat senyum lemah laki-laki itu dari samping.

"Saya nggak apa-apa, Mbak." Suaranya sangat lemah. Sangat jelas bagi Faranisa. Jaya seharusnya tahu bahwa bosnya itu memiliki kemampuan mengamati orang lain yang sangat baik. Berkat pekerjaannya.

"Jangan bohong sama saya, Mas. Ini menyangkut keselamatan kita berdua. Kalau Mas Jay sakit, kita berhenti dulu di rest area. Seharusnya, sih, nggak jauh."

Jaya mengangguk saja. Menyetujui usulan sang bos untuk beristirahat. Dirinya tidak lagi sanggup untuk memaksakan diri. Beberapa kilometer ke depan adalah titik menyeramkan yang sampai saat ini masih terekam di memorinya.

Memori tentang dua mobil yang bagian depannya hancur akibat tabrakan. Tentang pengkhianatan yang dia dapat, sebagai balasan atas cinta kasih begitu tulus, yang telah dia beri sepenuh hati.

Jaya mengambil lajur kiri begitu melihat plang yang menunjukkan bahwa rest area tinggal lima ratus meter lagi. Ingatan-ingatan itu membuatnya tidak sanggup melanjutkan perjalanan.

Hati dan pikirannya sangat perlu ditenangkan. Keringat yang bercucuran meski tidak merasa panas menjadi bukti betapa kenangan itu memiliki pengaruh yang cukup buruk terhadap kondisi psikis seorang Atma Sanjaya.

"J.ci aja, ya, Mas Jay."

Titah sang bos langsung dia laksanakan. Baginya, berhenti di mana pun tidak penting. Dia hanya ingin segera mengistirahatkan pikirannya, agar bisa kembali menyetir demi membawa majikannya itu ke tempat tujuan dengan selamat.

***

Jaya memesan iced chocolate tanpa makanan apa pun. Memang hanya itu yang dia butuhkan. Perutnya mual akibat memikirkan kenangan buruk yang selalu berhasil memengaruhi pikirannya. Kenangan buruk yang berusaha dia buang jauh-jauh, tetapi justru tetap melekat di alam sadar mau pun bawah sadarnya.

"Mas Jay yakin, nggak makan apa-apa?" tanya sang majikan.

Jaya tersenyum simpul. "Yakin, Mbak. Saya cuma butuh minum, kok."

Faranisa mengangguk, menyerah untuk membuat Jaya makan apa saja meski hanya sedikit. Dia khawatir pada kondisi kesehatan sang sopir.

"Mbak," panggil Jaya pelan.

Faranisa menatapnya, menunggu Jaya melanjutkan perkataannya.

Setiap kali Jaya tampak gugup, Faranisa sangat menyukai pemandangan itu. Jakun naik-turun dan bibir yang memerah membuat laki-laki itu tampak seksi. Di mata Faranisa, Atma Sanjaya adalah manusia paling seksi yang pernah dia temui.

"Kenapa, Mas?" Faranisa akhirnya bertanya, karena Jaya tidak kunjung mengungkapkan apa pun yang akan dia lontarkan. Perempuan itu tidak sabar untuk mendengar hal apa yang membuat sopirnya itu gugup.

"Saya ...." Jaya menjilat bibirnya. Sungguh, dia gugup setengah mati. Pekerjaannya adalah membawa sang majikan ke mana pun dengan selamat. Dia menjadi sopir supaya sang majikan tidak menyetir sendirian. Akan tetapi, saat ini dirinya merasa tidak cukup kuat untuk membawa Faranisa melalui jalan tol yang mempunyai kenangan buruk itu.

"Kenapa, Mas?"

Faranisa sebenarnya tidak ingin kegugupan Jaya berakhir. Bibir yang memerah itu memikatnya. Membuat dirinya ingin terus menatapnya.

"Saya minta maaf, Mbak." Jaya kembali bersuara setelah beberapa waktu. "Saya ... mau minta tolong sama Mbak."

"Minta tolong apa?"

Jaya menunduk sambil mengusap tengkuk, sedangkan Faranisa diam-diam tersenyum melihat wajah tampan Jaya masih diliputi rasa gugup.

"Saya kayaknya nggak sanggup nyetir. Saya mau minta tolong Mbak untuk gantikan sampai keluar tol aja. Habis itu, saya lagi yang nyetir."

Rasa senang dalam diri Faranisa lenyap dalam sekejap. Hilang bersama permintaan tolong yang diungkapkan Jaya.

Bayangan masa lalu kembali muncul ke permukaan seperti film yang sengaja diputar. Bayangan ketika dirinya mendapat kabar bahwa calon suami yang sangat dia cintai, terbujur kaku di rumah sakit akibat kecelakaan di jalan tol. Jalan yang sebentar lagi akan dia lewati.

Wajahnya memucat. Keputusannya menyewa jasa seorang sopir tidak diambil semata-mata agar dirinya tidak kelelahan setelah bekerja. Bayangan masa lalu membuatnya tidak sanggup berada di balik kemudi. Otaknya secara otomatis memosisikan dirinya pada keadaan mencekam dan berbahaya. Membuat dirinya seolah menjadi Gibran yang sedang menyetir dan berusaha menghindari tabrakan.

Peristiwa itu tetap terjadi, dan Faranisa kehilangan laki-laki yang sangat dicintainya.

Jaya melihat perubahan pada diri sang bos. Dia melihat dengan jelas bagaimana wajah Faranisa berubah pucat sesaat setelah dirinya mengungkapkan permintaan tolong itu.

Perasaan bersalah menyergap dalam sekejap. Dia menyesal, karena tidak menahan diri untuk meminta tolong. Sekarang, bosnya tampak tidak suka. Menjadi sopir adalah tugasnya. Tentu saja sang bos tidak akan suka, karena dirinya dengan lancang meminta digantikan menyetir.

"Mbak," panggil Jaya dengan suara pelan.

Faranisa tidak menggubris. Jiwanya masih terpaut pada masa lalu yang muncul dengan mudah hanya dengan permintaan tolong sang sopir. Masa lalu perempuan itu masih lekat. Jika selama ini tampak baik-baik saja, Faranisa hanya berusaha menekan agar tidak begitu kentara. Fakta bahwa dirinya masih terkungkung kenangan buruk itu, hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Kedua orang tuanya menganggap Faranisa sudah membaik. Tidak lagi terpengaruh oleh kematian seorang Gibran Dinata. Begitu pula teman-teman dekatnya.

Faranisa bertekad untuk berhenti membuat orang-orang terdekatnya meras khawatir. Dengan berpura-pura sudah mengikhlaskan dan melupakan kejadian itu.

The Boss' AdmirerOnde histórias criam vida. Descubra agora