Four - [a]

278 67 8
                                    


Keadaan seolah dibalik hanya dengan satu permintaan tolong yang terucap dengan gugup dari mulut Jaya. Faranisa kini berada pada posisi sang sopir sebelum dirinya memutuskan untuk berhenti di rest area. Wajah pucat dan penuh keringat meskipun suhu ruangan cukup dingin.

Atma Sanjaya sadar dirinya sudah keterlaluan. Namun, dia sungguh-sungguh tidak bisa menyetir. Kepalanya sangat berat, memikul beban kenangan buruk yang sampai saat ini masih bercokol di sana. Teramat jelas, sampai-sampai membuatnya mual setiap kali bayangan masa lalu itu muncul.

Ditatapnya lamat-lamat wajah Faranisa yang tampak begitu ketakutan. Laki-laki itu memberanikan diri menyentuh jemari sang bos, khawatir terjadi sesuatu.

"Mbak," panggilnya. Sentuhan yang dia sematkan pada jenari Faranisa tidak mencapai tiga detik. Namun, sentuhan itu berhasil membawanya kembali pada kenyataan.

Faranisa terperanjat. Matanya langsung terarah kepada Jaya yang menatapnya dengan penuh rasa cemas. Rasa cemas yang timbul akibat kesadaran akan kesalahannya. Cemas sang bos tidak berkenan dengan permintaan tolong yang dia lontarkan beberapa saat lalu.

"Ya?"

Suara Faranisa lemah. Jaya menyadari itu.

"Mbak Fara baik-baik aja?"

Faranisa menggeleng dengan tatapan sendu, seolah meminta tolong pada Jaya untuk melakukan sesuatu. Tatapan yang membuat hati Jaya mencelus. Menimbulkan keinginan untuk merengkuh tubuh sang bos ke dalam sebuah pelukan.

"Saya nggak bisa nyetir." Faranisa berkata dengan cepat.

Jaya bahkan mengernyitkan dahinya, mencerna secara perlahan ucapan sang bos.

"Gimana, Mbak?" tanya laki-laki itu, memastikan.

Faranisa memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya. Ketika rasa tenang telah hinggap padanya meskipun sedikit, perempuan itu membuka mata. Menatap sang sopir dengan penuh permohonan. Memohon, agar Atma Sanjaya mau berbaik hati untuk tidak membiarkan dirinya mengemudikan mobil. Terutama pada jalur yang menjadi mimpi buruknya selama bertahun-tahun.

"Saya nggak bisa gantiin mas Jay untuk nyetir. Saya minta maaf." Perempuan itu kembali menghela napas dalam-dalam. "Saya akan pikirkan caranya, supaya kita bisa keluar dari area ini secepat mungkin."

Faranisa benar-benar ingin keluar dari area mengerikan ini secepat mungkin. Oleh karena itu, otaknya bekerja keras mencari cara. Apa pun. Demi membawa mereka berdua melewati jalur mimpi buruk itu.

Jaya tidak tahu kenapa, tetapi dirinya merasa ada sesuatu yang membuat sang bos berkata demikian. Dia penasaran. Sungguh. Namun, logikanya tidak mengizinkan untuk bertanya apa pun. Sama sekali.

"Kita tunggu sebentar, ya, Mbak? Saya habiskan dulu minumnya, baru kita lanjutin perjalan."

Biar bagaimanapun, membawa Faranisa menuju kediaman kedua orang tuanya adalah kewajiban seorang Atma Sanjaya. Laki-laki itu dibayar untuk menjadi sopir, kapan pun sang bos membutuhkan.

Dia bertekad, akan menyelesaikan tanggung jawabnya hari ini. Setidaknya, sampai Faranisa tiba di rumah orang tuanya. Dia bisa memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya, setelah berhasil mengantarkan perempuan itu ke sana.

"Tapi ... mas Jay udah nggak apa-apa?"

Atma Sanjaya memaksa diri untuk tersenyum. Tidak mau memungkiri bahwa dirinya ingin berdiam diri saja di sini. Atau memutar arah dan kembali ke Jakarta.

"Saya nggak apa-apa, Mbak." Laki-laki itu hanya menjawab dengan singkat, berusaha menyembunyikan rasa gugup dan ketakutan luar biasa yang sedang menggerogoti kepercayaan dirinya.

"Ya, sudah." Faranisa tersenyum.
Senyum yang menunjukkan perasaan lega luar biasa. "Mas Jay santai dulu aja. Biar fit lagi nanti waktu di jalan."

Faranisa tidak tahu penyebab laki-laki itu mendadak terlihat seperti orang yang kesakitan sebelum mereka berhenti di sini, tadi. Dia pun enggan untuk bertanya, karena memikirkan cara untuk keluar dari sini tanpa membuatnya ketakutan setengah mati saja sudah menguras banyak tenaga.

Jaya tersenyum simpul. "Iya, Mbak."

Kemudian hening. Terjadi secara konstan sampai minuman cokelat Jaya benar-benar tandas. Sampai laki-laki itu mengajak sang bos untuk segera bergegas.

***

The Boss' AdmirerWhere stories live. Discover now