Two - The Offer

414 84 10
                                    

Di perjalanan menuju rumah Faranisa, Jaya memikirkan banyak hal. Transjakarta yang dia tumpangi pagi ini sepi, sehingga banyak waktu yang bisa digunakan untuk berpikir.

Hiruk pikuk di luar jendela bus, berbanding lurus dengan keramaian dalam kepalanya. Laki-laki itu mulai mempertanyakan, hidup seperti apa yang ingin dia jalani ketika tua nanti? Apakah benar, hidup seperti ini yang akan terus dia miliki? Selamanya menjadi kacung orang lain?

Ingin sekali mengubah nasib, tapi ijazah D3 yang didapatnya dari kampus swasta yang namanya mungkin tidak pernah terpikir orang lain itu, sudah lama hanya sebagai penghias kumpulan berkas di kontrakan. Tidak ada perusahaan yang mau mengangkat pegawai lulusan kampus dari kota kecil. Ilmu yang dipelajari selama kuliah, mungkin sudah dia lupakan sejak lama.

Terlambat bagi dirinya untuk mulai berpikir mengubah hidup. Malah sekarang, tanpa malu, menyukai bosnya yang sangat cantik dan berotak cerdas. Lengkap sekali keburukan dalam dirinya. Sampai-sampai, dia sinis terhadap dirinya sendiri.

Apa yang bisa lo banggain, Jaya? pikirnya.

Kontrakan kecil yang sudah dia tempati selama bertahun-tahun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membutuhkan perawatan ekstra. Adik semata wayangnya di kampung tidak pernah berhenti meminta uang meskipun sudah menikah. Ayah dan ibunya meninggal sejak lama.

Faranisa cantik. Kaya. Keluarganya masih utuh. Tentu tidak sepadan dengan dirinya yang miskin. Ketampanan yang digadang-gadangkan orang, ternyata tidak bisa mendatangkan uang dengan mudah. Orang-orang yang selalu berseru soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking itu pasti tidak pernah bertemu dirinya, pikir laki-laki itu.

Jaya menghela napas, lalu mengembuskan dengan kasar. Di halte berikutnya, dia harus turun. Lalu, berjalan beberapa meter, untuk sampai di gerbang perumahan tempat Faranisa tinggal. Dari sana, dia harus berjalan beberapa ratus meter untuk mencapai rumah perempuan itu.

Melelahkan. Seperti liku di hidupnya.

***

Jaya ingin tersenyum, tapi sengaja ditahan. Dia tidak ingin terlalu percaya diri dengan menganggap bahwa bosnya menaruh perhatian lebih. Hanya karena perempuan itu mengomel gara-gara dirinya tidak mau membawa pulang mobil, bukan berarti memiliki rasa, kan? Iya, kan?

Laki-laki itu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kewarasannya. Tidak boleh lengah, apalagi sampai ceroboh, sehingga dapat merugikan diri sendiri. Jangan sampai pikirannya mengawang-ngawang, tanpa batas, lalu mengungkapkan perasaan yang tersimpan di hatinya.

"Bingung banget aku sama Mas Jay. Tahu sendiri, kan, aku nggak pernah pakai mobilnya? Kenapa, sih, susah banget buat bawa pulang?"

"Kontrakan saya kecil, Mbak." Jaya bersyukur dirinya tidak salah panggil lagi. "Gang ke rumah juga hanya cukup untuk satu motor."

Faranisa terdiam. Tampak berpikir. Jaya ingin tahu apa yang dipikirkan perempuan itu. Apakah sang bos mengasihaninya? Entahlah. Hidupnya memang menyedihkan, tapi tidak ingin dikasihani. Perhatian yang didapatkan, dia ingin karena semata-mata orang itu menyayanginya.

"Kenapa, Mbak?" Jaya memberanikan diri untuk bertanya.

"Mas Jay nggak mau jadi model aja?"

Jaya batuk. Terkejut mendengar pertanyaan sang bos.

Dirinya? Model? Di usia hampir empat puluh tahun?

"Jangan bercanda, Mbak," responsnya sambil tertawa canggung. Tangannya dia kibas-kibas di depan, menolak ide dirinya menjadi model.

"Saya nggak bercanda."

Jaya berhenti tertawa, lalu mengusap lehernya. Dia gugup. Entah bagaimana, wajah serius Faranisa membuatnya tak sanggup menatap lurus sang bos. Tatapannya tampak tak ingin dibantah. Oleh karena itu, Jaya memilih untuk menunduk saja. Barangkali, ada hal yang ingin disampaikan bosnya itu.

"Saya bisa bantu Mas Jay."

Jaya masih menunduk.

"Saya bisa bantu supaya Mas Jay jadi model untuk iklan perusahaan saya."

Jaya mendongak. Ditatapnya wajah serius Faranisa. Berusaha menelaah isi pikiran perempuan itu.

Model iklan. Jaya tertawa dalam hati. Bermimpi saja dia tidak pernah. Bagaimana bisa seorang Faranisa berpikir bahwa perusahaan akan menerimanya menjadi model iklan?

"Saya nggak punya pengalaman jadi model, Mbak." Jaya defensif. Tentu saja. Dia tidak ingin seseorang memutuskan sesuatu untuk hidupnya.

"Bisa dicoba dulu."

"Maaf sekali, Mbak. Saya sudah nyaman menjadi sopir. Saya ingin bekerja di sini dalam waktu yang lama saja."

Bohong.

Jaya ingin mengubah hidupnya. Namun, dia tidak mau orang lain yang memutuskan caranya.

Faranisa tampak kecewa. Perempuan itu lalu menunduk, mengaduk-aduk teh hangat tanpa gula yang baru diminum separuhnya.

"Ya, sudah." Nada bicaranya terdengar pasrah. "Kalau berubah pikiran, Mas Jay bisa hubungi saya."

Jaya tersenyum. Meski begitu, permintaan sang bos tidak bisa diabaikan. Dia merasa harus mempertimbangkan itu ketika istirahat nanti. Memang. Terdengar seperti mengikuti keinginan orang lain. Akan tetapi, jika cara ini bisa menjadi jalan keluar bago hidupnya yang melarat, dia harus bagaimana?

"Terima kasih, Mbak." Hanya itu respons Jaya. Setelahnya, dia kembali melahap makanannya yang hanya tersisa beberapa suap. Dalam keadaan canggung. Dengan pikiran dipenuhi berbagai pertimbangan.

***

The Boss' AdmirerWhere stories live. Discover now