One - Beautiful, My Boss

571 103 15
                                    

"Hari ini saya nggak ke mana-mana. Mas Jay libur aja."

Jay bernama lengkap Atma Sanjaya. Panggilan sebenarnya ialah Jaya. Namun, sejak pertama kali bekerja sebagai sopir pribadi, bosnya memanggil dengan sebutan Jay. Katanya, biar sepadan dengan wajah tampannya.

Jaya sudah sering mendengar orang-orang memujinya tampan. Namun, dia tidak pernah memahami letak korelasi antara panggilan dan wajah tampan. Meski begitu, dibiarkan saja sang bos menganggilnya Jay. Sama sekali tidak pernah protes, kecuali dalam hati. Kalau protes, takutnya akan membuat hati si bos tersinggung. Kalau perempuan itu tersinggung, Jaya takut gajinya dipotong.

"Terima kasih, Bu. Saya pamit dulu kalau begitu."

"Jangan lupa jaga kesehatan, ya, Mas Jay. Besok, kan, Mas Jay harus temani saya ke rumah ayah dan ibu."

"Siap, Bu."

"Satu lagi," ujar perempuan itu. "Harus berapa kali, sih, saya nyuruh Mas Jay untuk berhenti panggil bu? Saya masih muda, lo, Mas."

"Maaf, Bu." Laki-laki mengatupkan bibir rapat-rapat ketika sang bos mendelok. "Maksud saya, Mbak."

"Jangan sampai, ya, saya denger panggilan itu lagi. Saya nggak suka."

Jaya tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Bagus." Perempuan itu tersenyum lebar. "Terima kasih, Mas Jay."

"Sama-sama, Mbak."

Setelah itu, Jaya benar-benar pergi dari rumah besar yang hanya ditinggali perempuan itu seorang diri. Bersamaan dengan sang bos yang menghilang di balik pintu rumahnya.

***

"Besok, ya?" Jaya bergumam pelan.

Laki-laki itu melempar handuk ke sembarang arah, lalu merebahkan diri di atas kasur kecil yang hanya muat dirinya. Matanya menatap langit-langit kamar.

Senyum manis seorang perempuan melintas di benaknya. Senyum yang bisa menyihir siapa pun. Menarik orang yang melihat, untuk jatuh cinta dan terperangkap dalam pesonanya. Senyum yang menurut Jaya, terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Faranisa." Dia bergumam lagi. "Andai saya juga kaya seperti kamu."

Jaya mengubah posisi, menghadap ke kanan. Faranisa adalah bosnya. Perempuan cantik, tinggi, dan pintar itu seorang manajer di sebuah perusahaan jasa. Entah manajer bagian apa, dia tidak tahu. Tidak pernah bertanya juga. Relasinya dengan Faranisa sebatas bos dan sopir. Dirinya memberi batasan, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kedua belah pihak.

Batasan yang kemudian patah oleh dirinya sendiri. Patah akibat hatinya yang lemah setiap kali melihat Faranisa berbicara dengan tangan yang ikut bergerak. Lemah oleh senyuman yang terbit kala perempuan itu berterima kasih padanya.

Jaya berusia 35 tahun. Usia yang membuatnya rendah diri, karena belum memiliki pencapaian apa pun. Menjadi sopir pribadi adalah pekerjaan terbaik yang dimilikinya, setelah lima tahun lalu, dia memutuskan berhenti menjadi sopir ojek daring.

Ponsel jadulnya berdering, membuyarkan lamunan tentang Faranisa yang telah meruntuhkan dinding pembatasnya.

Laki-laki itu menghela napas panjang sebelum menerima panggilan tersebut. Berbicara dengan si penelepon, sedikit atau banyak, akan memengaruhi pikirannya.

"Kamu nggak datang lagi, Nak?"

Jaya terdiam. Dia baru ingat, hari ini tanggal tujuh belas. Itu artinya, besok adalah peringatan kematian istri dan anaknya. Tiap tahun, keluarga sang istri mengadakan pengajian, untuk mengenangnya. Selama lima tahun ini, Jaya tidak pernah datang.

Baginya, kematian sang istri tidak perlu diingat lagi.

"Jaya minta maaf, Bu."

"Nggak apa-apa, Nak. Ibu mengerti." Perempuan itu memberi jeda. "Kamu sehat-sehat terus, ya. Ibu ingin sekali melihat keadaan kamu. Kalau kamu sudah siap, kabari ibu, ya?"

"Iya, Bu. Terima kasih." Hanya itu respons yang dia berikan.

Dia tahu, ibu mertuanya tidak salah apa pun. Tidak seharusnya dia menghindari perempuan paruh baya yang sangat baik terhadapnya itu. Namun, Jaya tidak ingin mengingat kejadian lima tahun silam. Maka, dirinya memilih untuk menghindar.

Menghela napas dalam, Jaya kembali memikirkan Faranisa. Perempuan itu distraksi yang sempurna, yang sangat dibutuhkan saat ini.

Dia tidak ingat, kapan tepatnya sang bos merasuk ke alam pikiran, lalu menetap dalam hatinya. Yang pasti, sejak saat itu, dia berharap tidak ada hari libur. Bepergian dengan Faranisa menjadi hal yang membuatnya bersemangat.

Namun, untuk besok, kalau bisa, dia ingin meminta izin untuk tidak mengantar perempuan itu ke rumah orang tuanya. Jaya tidak mau melewati tempat itu. Tempat yang akan mengingatkannya akan cinta, pengkhianatan, dan kematian.

***

Bos: Mas Jay, hari ini sarapan bareng saya, ya. Nanti mampir nasi uduk biasa.

Jaya tersenyum setelah membaca pesan tersebut. Saat-saat seperti ini yang membuat semakin jatuh ke dalam pesona si bos. Bos yang tidak pernah malu untuk makan satu meja dengan sopirnya.

Satu pesan kembali muncul, membuat senyumnya tambah lebar.

Bos: Pakaiannya jangan seragam sopir yang biasa Mas Jay pakai, ya. Saya minta, bukan protes.

Faranisa memang acapkali memprotesnya, karena selalu mengenakan seragam sopir yang default-nya berwarna hitam atau navi. Dengan dua saku di dada, kata perempuan itu, mengurangi kadar ketampanannya.

Ada saja memang yang diprotes Faranisa tentang dirinya. Namun, Jaya diam saja. Dia mengabaikan protes sang bos untuk mempertahankan batas yang dipasangnya. Batas yang tidak ingin dia patahkan lebih jauh.

Atma Sanjaya: Siap, Bu.

Bos: Saya bukan ibu-ibu, Mas Jay!

Jaya tertawa pelan. Laki-laki itu membayangkan wajah kesal Faranisa yang di matanya, terlihat sangat menggemaskan. Terkadang, keinginan untuk mengusap rambut cokelat sang bos menggelegak ketika bertingkah seperti itu. Namun, sekuat tenaga dia tahan. Sabar akan posisinya sebagai sopir.

Atma Sanjaya: Maaf, Mbak.

Jaya bergegas ke kamar mandi. Hari ini, dia ingin mengganti kenangan buruk dengan yang manis-manis. Seperti senyum Faranisa.

***

The Boss' AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang