Prolog

929 108 28
                                    

Faranisa bertekuk lutut. Di hadapan pusara yang masih basah.

Tak peduli tangan dan kakinya kotor terkena tanah kuburan, perempuan itu menatap kosong pada nisan yang baru beberapa waktu laku tertancap. Nisan yang menunjukkan bahwa takdir telah membawa hampir separuh jiwanya pergi.

Gibran Dinata
02 Februari 1990
-
18 Juni 2015

Kematian Gibran telah menguras air matanya. Kesedihan yang mendalam membuatnya tak lagi sanggup untuk menitikkan air mata. Hanya tatapan kosong diiringi doa, agar takdir juga membawanya pergi.

Beberapa hari lalu, dirinya masih tertawa riang akibat bercandaan yang dilontarkan laki-laki itu. Menyusun rencana yang akan mereka laksanakan setelah menikah.

Pernikahan yang seharusnya dilangsungkan hari ini.

Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia, berubah menjadi penuh petaka. Petaka yang membawa pergi cinta dan sumber kebahagiaannya.

Siang ini, seharusnya, Gibran mengucapkan kalimat ijab kabul. Sore ini, seharusnya, dirinya sudah menjadi istri sah seorang Gibran Dinata.

Namun, semesta sepertinya sedang ingin berbuat kejam dengan mengambil laki-laki tercintanya itu di hari pernikahan mereka. Semesta tidak merestui cinta kasih yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun itu.

***

Atma Sanjaya menunduk. Dadanya bergerumuh. Pikirannya tak berhenti memutar ulang kejadian yang membawanya sampai di depan ruang operasi sebuah rumah sakit swasta.

Laki-laki itu masih ingat dengan jelas apa yang dilakukannya ketika mendapat telepon dari ibu mertuanya: menunggu pesanan penumpang atau makanan. Sepagian itu, dirinya belum mendapat satu pun pelanggan.

Ponselnya berbunyi. Namun, bukan dering adanya pesanan melainkan telepon dari sang ibu mertua. Mengabarkan bahwa istri tercintanya mengalami kecelakaan saat akan pergi ke Bogor.

Beberapa menit lalu, laki-laki itu baru mendapatkan fakta dari kepolisian. Kecelakaan yang dialami sang istri merupakan kecelakaan antar mobil dan mobil. Pengendara mobil berada dalam pengaruh alkohol, sehingga tidak fokus ketika menyetir.

Yang membuat hatinya hancur lebur adalah hubungan antara si pengendara dan sang istri. Polisi memberinya ponsel yang aman dari benturan, karena disimpan dalam tas yang diletakkan di jok belakang.

Pesan berisi obrolan mesra membuat jantungnya berdenyut kuat. Sangat nyeri.

Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Sedih? Tentu. Laki-laki itu sangat mencintai sang istri. Melihatnya berada di ruang operasi, menimbulkan takut yang sangat luar biasa. Takut kehilangan.

Namun, bersamaan dengan itu, hatinya juga disakiti oleh kenyataan. Fakta bahwa sang istri tidak setia, membuat dirinya merasa tidak berharga. Tidak dicintai.

"Keluarga saudara Diva." Seruan dokter menyapa indera pendengarannya.

Dia buru-buru bangkit. Ibu mertua yang sedari tadi duduk sambil menangis pun mengikuti.

"Bagaimana, Dokter?" suaranya bergetar. Ekspresi sang dokter membuat ketakutannya menjadi-jadi.

"Kami mohon maaf. Janin dan ibunya tidak bisa kami selamatkan." Dokter itu menghela napas panjang. "Kematian hari Sabtu pukul lima belas empat puluh."

Tungkai kakinya melemas. Tiada lagi kekuatan yang menahan. Tubuhnya ambruk bersamaan dengan teriakan histeris sang ibu mertua.

***

Give us lots of love, juseyo❤

The Boss' AdmirerWhere stories live. Discover now