6- He is extremely random

6.7K 920 134
                                    



Semenjak hari itu, ini adalah kali kedua bagi Rajuna duduk dijok penumpang motor Gatra. Bahkan kondisinya sama persis, jantungnya kembali meronta lagi. Sudah ada ratusan pesan masuk dari Haidar diponselnya dan ada puluhan bahkan mungkin kini sudah mencapai ratusan kali pula Haidar mencoba menelponnya.

Rajuna sudah mencoba sebisa mungkin untuk tetap biasa saja. Tapi detak jantungnya tidak bisa dianggap remeh. Bagaimana gerak organ itu bergerak seolah-olah tengah merobek dirinya sendiri. Bagaimana menggambarkan rasa sakit yang sangat intens seperti ini? Yang jelas, sekujur tubuhnya menjadi sangat lemas, bergerak sedikit terasa seperti tulang-tulangnya ikut patah. Jangankan untuk bergerak, bernafaspun terasa sangat menyakitkan.

Ia tau betul pantangan apa saja yang tidak boleh ia lewatkan, namun memperjuangkan hidupnya sendiri benar-benar melelahkan. Maka dengan begitu, kesalahan-kesalahan terus terjadi, dan kerja jantungnya makin melemah.

Rajuna menoleh saat motor Gatra perlahan menepi dan terparkir dihalaman cafe diujung kota. Tempatnya terpencil dan ditumbuhi pohon-pohon tinggi disekitarannya. Konsepnya sangat alami dengan interior kayu sebagai konsep utama.

Sayangnya, cafe ini memiliki tangga yang lumayan banyak. Posisinya ada ditepi tebing yang sengaja tidak diratakan, sehingga pemilik ingin membuatnya seolah-olah tempat yang nyaman untuk bersantai dengan pemandangan jalan raya juga kebun-kebun dibawah.

Baru melihat saja Rajuna sudah menelan saliva, baru membayangkan saja sudah terbayang bagaimana tidak kerennya ia koid ditengah-tengah tangga dan Gatra sebagai saksi mata.

"Duh, gak bisa nih gue, Kak," ungkapnya. Ia memijit pelan dada kirinya dengan konstan sambil mengamati tinggi tangga yang lumayan curam.

"Gak bisa apaan?"

Rajuna memperkuat pijatannya pada dada kirinya saat dirasa ngilu dari benalu yang bersarang dijantungnya makin menjadi. "Tangganya kebanyakan. Positif mati muda ini, mah," ucap Rajuna sambil melirik Gatra yang menatapnya dengan tatapan datar. Dan ia sedang tidak bercanda.

"Lo duluan deh, gue ke toilet dulu. Btw, itu toiletnya kan?" Rajuna menunjuk gua bawah tanah dengan papan bertuliskan 'basement & toilet' dengan netra bergetar.

"Toilet diatas aja napa sih?"

"Urgent nih urgen!"

Gatra berdecak kesal setelahnya sebelum akhirnya mengiakan dengan malas dan pergi duluan menaiki tangga yang lumayan banyak itu.

Rajuna lantas terbirit memasuki toilet dengan menggenggam tabung kecil berisi pil-pilnya. Berharap dengan menelan beberapa pil, ia tidak akan pingsan saat menaiki tangga setinggi itu. Bahkan selama hidupnya, tangga adalah salah satu objek yang harus ia jauhi selain kelelahan karena berjalan kaki atau sekedar aktivitas rutin.

***

"Sumpah lo pucet banget, ege!"

Setibanya di rumah sakit, Haidar langsung menarik tas sekolah yang Rajuna seret dengan lesu. Bisa-bisanya anak itu melamun disepanjang koridor dengan tatapan kosong.

Memeriksa suhu badan Rajuna yang sempat naik lumayan tinggi tadi pagi, rupanya anak itu sedikit membaik. Suhu tubuhnya menurun, namun masih terasa hangat. Ditambah peluh dingin sebesar biji semangka dipelipis dan bibir kering. Rajuna sempurna menyerupai Voldermort saat beliau sedang diare.

Dokter Teri baru kembali dari operasi keduanya hari ini dan melihat Haidar dengan telaten memapah sahabatnya mendekat ke arah ruangannya dengan perlahan. Tentu dengan iring-iringan omelan Haidar yang menggema ke seluruh ruang tunggu yang terlihat lumayan sibuk.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now