19- Kesempatan terakhir

5.6K 798 54
                                    



Reihan baru saja memindahkan kantong-kantong sampah botol alkoholnya ke depan rumah agar diambil para petugas kebersihan yang biasanya lewat pagi ini. Seingatnya, sekitar jam 5:30, Rajuna akan mengumpulkan sampah-sampah di dalam rumah dan menyeretnya hingga ke depan pagar. Biasanya juga ia akan menyapu halaman saat akan kembali masuk.

Sayangnya, orangnya sedang sakit. Halaman jadi dipenuhi oleh daun-daun mangga yang sudah mati. Ia melihat langit yang mendung, melahap habis sang fajar yang belum sempat menampakan dirinya pagi hari ini. Angin bertiup cukup kencang, sekaligus menurunkan suhu ibu kota, jadi Reihan buru-buru membawa sepasang tungkainya masuk ke dalam rumah sebelum ia menyadari bahwa ada yang beda dari suasana rumahnya kini.

Tidak tertata, tidak terlalu berantakan memang, tapi tidak serapi saat Rajuna masih ada. Ia berkali-kali lupa dimana gula dan kopi berada. Menghabiskan puluhan ribu untuk memakan satu porsi rendang kesukaannya yang sayangnya tidak sebanyak buatan Rajuna.

Pria itu terduduk dimeja makan, dengan lauk kiriman sang mantan istri dengan alasan Rajuna yang berpesan. Teringat saat Rajuna menemukan botol obat yang ia buang di dalam tong sampah yang ia sendiri akhirnya bingung dengan apa yang telah ia perbuat, ia tidak begitu yakin bahwa ia membenci putranya sendiri, namun pikirannya selalu membuat ide-ide kotor.

Teringat pula saat piknik singkat mereka di danau, saat anak itu membuang sendiri obat penyambung hidupnya. Reihan sempat tercekat dan merasakan sesak yang menyakitkan, saat itu ia setengah mati menampik perasaan cemas saat Rajuna justru tersenyum dengan manik yang berkaca-kaca.

Ngomong-ngomong soal piknik, wanita itu masih menghubunginya. Ia juga menanyakan kabar Rajuna yang sudah jelas sekali kondisinya menurun. Fara mencoba singgah sesekali, namun Reihan menolak, padahal tanggal pertunangan akan ditetapkan. Namun bagi Reihan, tiga tahun bukan waktu yang cukup untuknya berpindah hati.

Baru dipikirkan, nama Fara sudah berjejer di dalam ponselnya. Panggilan masuk kesekian hari ini sejak malam tadi.

"Halo, Fara? Kenapa telfon pagi-pagi?"

"Han, aku boleh gak ketemu Gatra dan Rajuna?"

***

Gatra baru saja tiba di rumah sakit dan dalam perjalanan ke kamar rawat Rajuna saat tidak sengaja menemukan anak itu tengah bersandar pada dinding sambil memegang erat tiang infusnya. Sesekali terbatuk dan ia dapat mendengar jelas nyerinya kerongkongan sang adik saat adiknya itu mulai terbatuk-batuk.

"Jun!" ia menghampiri Rajuna yang berusaha bernafas senormal mungkin.

Ia terkekeh sembari mengelus dadanya, sedikit kaget saat melihat wajah sang Kakak yang berlari kearahnya. "Haha, capek. Baru jalan dua meter udah engap."

"Udah ayo balik ke kamar aja!" suruh Gatra, ia menarik lengan Rajuna namun anak itu justru menahannya.

"Ayah sama Bunda lagi ngobrol," anak itu terbatuk lagi. "Aaaahh! Nyebelin banget!" gerutunya sambil menepuk dadanya beberapa kali.

Gatra dengan sigap menjauhkan kepalan tangan sang adik dari dadanya sambil berdecak. "Jangan dipukul, tulang rusuk lo kemarin hampir retak di CPR berkali-kali."

"Demi apa si? Ahhh!! Gue gak di grepe-grepe sama Terri dan kawan-kawan kan?"

"Lo hampir mati kemarin."

"Yang bilang gue hampir nikah siapa?"

Gatra menggeleng, kembali berusaha menggaet lengan sang Adik. Namun Rajuna lagi-lagi menghempasnya dengan lembut.

"Mau ke lobi, Kak."

"Ngapain?"

"Jalan-jalan aja. Beli minum ke kantin, yuk?" ajak Rajuna. Mendengar itu, Gatra sontak menoleh kekanan dan kekiri, berusaha menemukan kursi roda atau seseorang untuk ia tanya.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang