22- If you want to cry, then cry

5.4K 742 141
                                    


Langit yang sebelumnya hanya menciptakan gerimis kecil kini mulai menumpahkan air berton-ton dari gumpal awan hitam yang berkumpul dan menutupi cahaya rembulan. Suasana ruang tunggu yang dari awal sudah tegang dan suram menjadi dua kali lipatnya. Bunda memeluk Gatra, menyimpan kepalanya dibahu si sulung dengan sisa air mata yang enggan kering.

Gatra melirik jam tangannya dengan gelisah, sudah lima jam, namun tidak ada tanda-tanda seseorang akan keluar dari dalam sana. Gatra tidak mengerti tepatnya, namun pekikan Terri yang meminta para medis untuk menyiapkan ruang operasi sempat membuatnya menahan napas cukup lama. Cowok itu takut setakut-takutnya, seluruh tubuhnya terasa kebas hingga ingin menangispun ia tidak sanggup.

Dalam hati ia terus berdoa agar Tuhan tetap membiarkan Rajuna tinggal, meminta-Nya untuk membuat Rajuna bertahan sedikit lagi.

Ia sudah menarik kata-katanya yang bergema diruang tamu 3 tahun yang lalu Tuhan, apakah itu tidak cukup? Ia salah, ia tidak mau Tuhan mengambil Rajuna terlalu cepat. Ia juga tidak membenci Rajuna, tidak pernah, ia tidak pernah membenci Rajuna. Ia menarik semua kata-kata yang langit dengar, ia meminta semua gemanya kembali bahkan meski membuatnya sakit.

Bunda yang sedari tadi bersandar dibahunya sembari menggenggam jemari Gatra yang dingin kembali terisak, begitu terus setiap dua jam sekali. Bunda akan lebih tenang, kemudian tiba-tiba menangis lagi sembari mengeratkan genggamannya. Hujan deras diluar seperti pengantar luka-luka baru, seperti instrumen menyakitkan, membuatnya membayangkan sosok Rajuna yang berjuang sendiri diatas meja operasi yang dingin.

Ayah kembali dari kantin membawa dua botol air mineral yang langsung ia sodorkan ke arah Gatra dan sang mantan istri. Gatra muak melihat wajah tidak bersalah Ayah, padahal beberapa hari yang lalu ia begitu manis bahkan ikut membantu Bunda membicarakan liburan mereka ke danau tempo hari. Apa yang membuat lelaki itu berubah pikiran, atau justru sang Ayah tidak pernah berubah?

Gatra menolak air mineral itu, justru menyodorkannya ke arah Bunda dan membantu wanita itu tetap dalam keadaan yang baik. Tidak boleh lagi ada yang tumbang di sini, cukup Rajuna.

"Kak Gatra, kata Dokter Terri paling lama itu tiga jam..." Air mata Bunda menetes lagi. hujan deras diluar benar-benar menjadi pengiring perasaan emosional Bunda yang memang sensitif, terlebih yang berhubungan dengan putra-putranya.

Seiring dengan genggaman Bunda yang mengerat, untuk pertama kalinya dalam sejarah seorang Gatra menangis. Menjatuhkan bulir-bulir rasa cemasnya ke lantai putih Rumah Sakit. Ia ikut tersedu dalam diam. Rajuna terlalu berisik, terlampau berisik untuk membuat suasana tiba-tiba sunyi karena kepergiannya. Gatra tidak bisa ditinggal begitu tiba-tiba.

Reihan mendekat, wajah pria itu datar namun masih mencoba untuk merengkuh keluarganya meski raut simpati tidak dapat Gatra temukan diwajahnya.

Dari jauh, bunyi sendal jepit perlahan mendekat dengan bunyi nyaring. Itu Haidar yang setengah basah karena menerobos hujan dari mobil sang Ayah diparkiran. Nafasnya memburu, matanya merah dan ia sontak berlutut didepan Bunda. Haidar yang biasanya santai itu akhirnya setengah mati ikut khawatir.

"Tante...Rajuna.." Ia terengah, dan Bunda mengalihkan genggamannya pada tangan Gatra, beralih meraih jemari Haidar yang bergetar.

Wenda menggeleng, kemudian menangis. Sulit untuknya berpikir positif. Haidar spontan menggeleng brutal, cowok itu percaya Rajuna bertahan. Dia punya Sinta, Bunda dan sang Kakak yang ia tunggu-tunggu sejak lama. Rajuna harus bertahan dan menjemput keduanya pulang. Ia berjanji padanya untuk menghabiskan banyak waktu dengan Bunda dan sang Kakak saat semesta merestui mereka untuk bersatu kembali.

"Rajuna bakal baik-baik aja, Tante," ujar Haidar penuh harapan. Senyuman yang terlihat ketir itu justru membuat Wenda makin banjir air mata, namun setidaknya ia bersyukur.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now