17- Keberadaan yang berharga

5.7K 795 59
                                    

Reihan baru pulang ke rumah saat Rajuna selesai menghabiskan makan siangnya dengan lahap, dengan senyum lebar nan manis, seolah-olah lupa bila kemarin ia kambuh sampai mengalami resiko yang cukup fatal. Ia tidak tau bahwa setelah detaknya kembali, Dokter Terri nyaris jatuh karena kakinya yang tidak lagi mampu menahan gemetar, Bunda yang hampir pingsan karena menangis, dan seluruh rekan medis yang diteriaki Terri habis-habisan untuk mengikuti instrukturnya.

Ia tidak tau ada situasi semacam ini, ia tidak pernah menyangka akan mengalami perasaan seberkecamuk ini. Ia baru sadar saat Rajuna benar-benar nyaris berada diujung napas setelah selama ini abai akan kesehatannya. Ia baru sadar akan rasa takutnya saat jemari Rajuna yang selama ini tidak pernah ia genggam terasa dingin juga ringannya raga sang putra saat ia dekap.

Membuatnya teringat akan masa lalu. Dimana ia masih berdiri atas kehendak amarah saat berhadapan dengan sosok putra bungsunya.

2 tahun lalu, 1 tahun setelah perceraian.

Saat itu angkasa terlalu biru, tidak ada awan putih yang menjadi payung. Sinar matahari langsung menyengat kekulitnya dengan beringas. Keringat sebiji jagung merosot jatuh kekerah seragamnya. Sambil sesekali terbatuk dan memijat tengah-tengah dadanya pelan, ia membuka pintu pagar yang dikunci kemudian masuk dan menyadari bahwa mobil sang Ayah belum terparkir di garasi.

Hari ini Rajuna pulang awal, Haidar yang paksa. Bukan hanya karena anak itu mau kabur dari pelajaran IPA, tapi ia sadar betul kalau jantung Rajuna kembali berulah. Jadi anak itu dengan ekting alakadarnya, Rajuna berhasil diperbolehkan pulang meskipun seharusnya Haidar tidak perlu ekting semenyedihkan itu.

Menoleh ke jam dinding yang diletakan ditengah ruang tamu, ada sekitar 7 jam sebelum Ayah pulang dari kantor. Sekarang masih jam sepuluh, tapi Rajuna tetap berpikir untuk membuatkan makan siang bila tau-tau Ayah tiba-tiba pulang. atau kalau tidakpun masakan itu bisa ia hangatkan untuk makan malam, jadi Ayah tidak perlu lagi mengomel saat ia pulang.

Rajuna duduk sebentar di sofa tunggal diruang tamu, masih dengan detak tidak beraturan yang menyakitkan didadanya. Semenjak tidak lagi tinggal bersama Bunda, menangis adalah satu-satunya cara untuk mengekpresikan rasa sakitnya, kalau dulu Bunda bisa saja memeluknya dan menyiapkan semua obat keperluannya. Namun kini, jangankan untuk menggapai obat, bernafaspun Rajuna kesusahan.

"Bunda..." rintihnya pelan, nyaris tidak mengeluarkan suara. Dadanya mulai memerah karena ia pijat sejak tadi. Nafasnya pun makin memberat.

Jadi sekuat tenaga, ia membuka resleting tas depannya untuk menemukan botol obat dan meletakannya dibawah lidah sebelum akhirnya bersusah payah merilekskan tubuh dan detak jantungnya yang masih membrutal.

Entah pingsan atau ketiduran, yang jelas Rajuna tidak ingat. Yang ia ingat hanyalah suara ponsel yang ia letakan diatas meja berdering nyaring, membuatnya terbangun dari mimpi indahnya disiang bolong. Melirik jam sudah menunjukan pukul satu. Bersyukur ia masih bangun dalam keadaan hidup. Dadanya memang sudah baikan, tapi nyeri-nyerinya masih terasa.

Saat nama Ayah tertera di dalam ponsel, Rajuna spontan mengangkat panggilan, lupa kalau tubuhnya masih sakit untuk digerakan.

"Iya, Yah?"

"Kata gurumu kamu pulang cepat?"

"Iya, Yah. Tadi aku sempet kam--."

"Nah, bawain berkas Ayah di dalam map merah di kamar Ayah ke kantor. Ingatkan kantor Ayah? Cepat ya? jam 2 Ayah ada rapat."

Rajuna diam sebentar. Lagi-lagi melirik jam didinding dan menyadari bahwa ia hanya punya 30 menit sebelum jam dua. Dari rumah? Kalau macet?

"Iya, tunggu sebentar. Juna bawain."

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now