7- Santai Aja

6.5K 913 84
                                    


Reihan tidak tau dari mana sifat nyeleneh Rajuna berasal. Mulai dari sifat cerewet, ceplas-ceplos hingga keras kepala dan kelewat santainya. Seingatnya, anak itu dulunya pendiam, penurut dan sangat elegan, sebelum akhirnya ia dan mantan istri memutuskan untuk bercerai dengan cara yang kurang kekeluargaan.

Iya, saat itulah Rajuna berubah menjadi sangat cerewet dan nyeleneh.

Dia tau betul, ia punya penyakit jantung bawaan. Ia juga tau betul apa saja yang perlu dihindari agar jantungnya tidak berulah. Dan Reihan tau betul, bahwa ia bukanlah ayah yang baik untuk putra bungsunya.

Seperti saat ini, membiarkan anak itu menelan daging sapi berkolesterol tinggi sebagai makan malam dengan penampilan urak-urakkan, katanya baru sadar dan dia kelaparan. Kemudian hanya melirik sekilas perban tipis dengan darah kering yang tembus dari samping kepalanya, jangankan untuk mengobatinya, bertanya saja ia enggan.

Entahlah, karena sejak awal hubungan mereka tidak baik. Awalnya hanya karena ia jarang di rumah karena berkerja, namun lama kelamaan anak itu menjelma sebagai iblis kecil yang mengganggu ketenangan lucifer. Dari dulu tingkat temperamen dan kecuekannya memang diatas rata-rata, hanya Wenda yang ampuh menaklukan sifat memuakkannya. Menyadari bahwa wanita itu lantas menyerah hanya karena permintaan labil dari bocah 13 tahun, hal itu tentu membuat Reihan marah.

Anak itu baru saja akan menyuap satu potong daging sapi berlemak ke dalam mulut jika saja Reihan tidak menahannya dan membuang daging itu jatuh lagi kepiring. Membuat si bungsu menoleh bingung dan menatap piringnya bergantian.

"Kenapa, Yah? Mau punya Juna?"

Reihan menggaruk dagunya yang ditumbuhi rambut-rambut tipis sisa bercukur lima hari yang lalu. Lalu mengangguk ragu. Dengan begitu, sepotong daging itu berpindah piring dan membuat piring Rajuna kini kosong, hanya tersisa sedikit nasi yang belum habis.

"Jangan masak sapi lagi," Reihan berdehem, lalu mengunyah daging yang barusan dipindahkan ke piringnya.

"Kenapa? Ayah gak suka di rendangin?" tanya Rajuna dengan wajah khawatir sekaligus bingung. Ayah memang pecinta rendang, dalam seminggu Rajuna bisa masak sampai tiga kali sampai kadang-kadang ia jadi membuat lebih untuk di stok.

Namun berhubung tadi dia lapar banget, jadi ia yakinkan saja untuk menelan benda haram untuk tubuhnya itu.

"Gak. Bosan aja."

Rajuna mengangguk setelahnya. Lalu membersihkan meja makan sembari menunggu sang Ayah selesai untuk ia cuci sekalian alat makannya.

Sambil meletakkan piringnya sendiri ke dalam tempat kotor, Reihan mengamati perban yang letaknya sudah miring itu dengan tatapan datar, meski batinnya meronta-ronta karena kasihan. Putra bungsunya itu hari ini berbeda, tidak banyak kalimat yang ia keluarkan, biasanya apapun akan ia ceritakan. Misalnya seperti beberapa saat yang lalu ia tidak sengaja melihat cicak bereproduksi saat tengah berpikir dan otomatis menatap langit-langit kamar.

Namun lebih dari itu, wajahnya tidak secerah saat terakhir ia melihatnya. Ia juga baru sadar tadi pagi tidak melihatnya bangun dan menyiapkan sarapan. Ia juga bahkan tidak membangunkannya dan alhasil membuatnya terlambat belasan menit saat tiba di kantor.

"Kamu tadi gak sekolah?"

Rajuna mengangguk lagi sambil nyengir pelan disela kegiatannya mencuci piring.

"Kenapa gak sekolah?"

Rajuna mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Rajuna Cuma gak enak badan aja tadi pagi, jadi males mau ke sekolah. Gak apa-apakan? Rajuna 'kan pintar, libur sehari doang gak akan bikin nilai anjlok."

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now