epilogue

6.5K 723 210
                                    


Duduk termenung di halaman belakang dan menikmati hamparan bintang yang mengitari bulan sabit dimalam yang temaram kini adalah hobi baru Gatra. Kalau beberapa bulan sebelumnya ia akan duduk di sini menemani sang Adik dengan buku sketsa ataupun kue kering buatan Bunda, kini ia hanya duduk sendirian menikmati angin malam dan kesunyian yang membekukan halaman belakang malam ini.

Dulu Gatra juga pernah duduk sendirian di sini, duduk bersantai ditemani gitar milik Jefri atau kadang-kadang Bunda ikut bergabung dengan majalah ditangan. Namun rasanya beda, meski hanya sendiri ia tidak merasa kesepian dan...sesak.

Ada yang hilang, tentu saja. Baru dua hari setelah kepergiannya, rumah masih bau dupa dan pengajian masih diselenggarakan, rumah ramai saat pengajian berlangsung hingga kemudian semua mendadak sunyi dan Bunda kembali mengurung diri di kamar.

Tidak ada yang bisa Gatra lakukan selain ikut mencari cara untuk tetap waras dalam keadaan ini. Menghabiskan bergelas-gelas kopi dan teh untuk duduk di halaman belakang, seolah aroma citrus masih menguar di atas sofa tempatnya duduk sekarang. Kalau beberapa bulan lalu halaman belakang ini dipenuhi tawa dan tingkah absurd Rajuna, malam ini ia hanya duduk ditemani serangga malam yang sudah muak melihatnya menangis seharian. Memang tidak tersedu, namun air mata yang justru terkesan ditahan-tahan jauh terlihat lebih memilukan.

Ingatan tentang sepulang sekolah Rajuna memangku akuarium Sinta dipangkuannya. Ia duduk sendiri di sini, bermain dengan ikan hias itu. ceritanya, ia berpura-pura menjadi pembaca berita dan membaca berita dengan logat presenter di televisi dan Sinta menjadi korban kegabutannya atau saat ia duduk di sofa ini sembari bernyanyi dengan nada sumbang atau memanggil nama sang Kakak berulang kali tanpa alasan. Rasanya baru kemarin dan lagi-lagi kepergiannya terasa tidak nyata.

Kalau kehilangan rasanya semenyakitkan ini, harusnya ia hati-hati dalam berkata-kata. Kalau waktu bisa terulang, lebih baik ia meminta Tuhan memanjangkan umur Rajuna kendati memintanya pergi. Namun Gatra harus menelan rasa penyesalannya lagi. perasaan ini tidak akan punya ujung karena ia terlampau merasa bersalah.

Ayah sempat datang kemarin, bahkan Ayah yang berperan antagonispun tampil dengan penampilan berantakan. Baju basah dan kotor karena tanah merah. Matanya memanas begitu figur Rajuna yang tersenyum lebar dengan seragam SMP diatas meja dan akhirnya hanya bisa berlutut didepan bingkai foto sembari menangis tersedu-sedu. Memang, selain merasa bersalah dan menyesal, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menangis dan menikmati setiap sayatannya. Minta maaf pun tidak bisa, apa lagi memeluk raganya yang tidak ada.

Mata Gatra memanas lagi. Semuanya tidak lagi berantakan seperti saat Ayah pergi dari rumah membawa Rajuna. Namun mengapa rasanya justru jauh lebih sakit dan rumit?

Ia bersandar pada punggung kursi lalu kembali termangu menatap tanaman Bunda dikegelapan.

Semua tentang Rajuna terlalu banyak untuk dilupakan.

Sinta, Bunda, Ayah dan rendang kesukaannya, karya seni diatas kanvas, lawakan-lawakannya, topik pembicaraan anehnya, tingkah absurdnya dan sudut pandangnya terhadap dunia. Rajuna punya ceritanya sendiri, dan bagi Gatra itu terlalu sulit untuk menghapus semua memori menyenangkan itu dari dunianya.

Memang ia tidak perlu melupakannya, tapi setiap memori itu kembali dan berputar bagai film dikepalanya, maka dunianya akan kembali berhenti seketika.

***

Reihan tidak mampu sehingga akhirnya melampiaskan semua rasa sesak ke dalam segelas kecil alkohol. Padahal putra bungsunya sudah rela membuang semua pilnya ke danau di suatu senja yang sempat menggegerkan seluruh kinerja otaknya. Wajah kecewa Rajuna masih tergambarkan jelas dalam benaknya, namun ambisinya justru lebih besar dan Reihan baru sadar sebesar apa usaha Rajuna untuk mencuri atensinya.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now