Bagian 17 : Tumbang

1.3K 125 10
                                    

"Astaga Arvie!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Astaga Arvie!"


🍁🍁🍁

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Sudah steril tuan, walaupun tadi masih ada beberapa jurnalis yang memilih menetap disekitar kediaman namun berhasil kami bubarkan tuan," lapor si pengawal.

Sang tuan hanya berdeham menanggapi. Mata elangnya menatap tenang ke depan sana. Tangan yang saling menangkup di depan wajah dan siku yang mendarat dimasing-masing pegangan kursi itu, menambah aura kewibawaan dari seorang Sebastian. Ia selesekan punggung tegap itu pada sandaran kursi.

"Lalu bagaimana dengan Jensen? Ini sudah lebih dari satu jam dia pergi bukan?" pertanyaan tersebut terlontar dari pria di samping Sebastian.

"Maaf kam-"

Belum selesai menjawab, terdengar suara derap kaki saling bersahutan menuju ke arah mereka.

Drap

Drap

Drapp

Suara nyaring tersebut sontak membuat mereka yang ada di ruangan tersebut menatap si pelaku dengan tajam. Bahkan Sebastian juga harus memutar kursinya agar bisa menatap si pelaku suara.

"Jensen, kenapa berlari huh?" Tanya Opa Gibran bingung dengan dahi yang mengernyit.

"Hahh.. Hahh.. Hah.. Ma-maaf tuan, saya tidak menemukan Tuan Muda Arvie di sekolah. Saya sempat bertanya pada orang di sana dan tidak ada yang tahu tuan muda pergi kemana," jawab Jensen dengan nafas terengah-engah.

Bayangkan saja, dia sedari tadi panik berlari kesana-kemari mencari Arvie ditiap sudut sekolah yang luas ditambah harus berlari dari halaman rumah Gibran menuju ruang tengah yang jaraknya sangat membakar banyak lemak. Wajar saja bukan? Diperjalanan saja dadanya berdegup kencang karena panik akan melihat reaksi tuan besarnya itu.

Rahang Sebastian mengeras, "Bagaimana bisa Jensen?!! Kau ini bagaimana hahh!?"

Kerah kemeja putih Jensen dicengkeram kuat Sebastian. Jensen yang tingginya lebih pendek tiga sentimeter dari tuannya sedikit menjinjit. Tercetak jelas raut marah Sebastian dimata Jensen. Jensen menengguk ludahnya kasar, wajahnya menunduk takut untuk melihat netra penuh hasrat membunuh.

"Ma-maaf tuan atas kelalaian saya."

Bukannya mengendur, cengkeraman tersebut malah semakin kuat. Rahang Sebastian tambah mengeras. Tatapannya masih menyorot tajam pada Jensen yang menunduk.

When Your Father Was a SuperstarWhere stories live. Discover now