Bagian 19: Rumah Sakit

1.3K 151 7
                                    


"RS? What's going on?"

Pria tua itu mengernyit heran.

'Apa yang terjadi? Kenapa malah ke RS?'

Kira-kira itulah pikir si Opa Gibran. Anaknya ini kenapa sih? Apa yang Sebastian itu dengar saat ditelepon tadi, sampai-sampai ia melajukan mobil seperti setan yang kesurupan. Gila!

Jarak tempuh yang harusnya memakan waktu setengah jam, berhasil Sebastian patahkan hanya dengan 15 menit saja. Hingga akhirnya tungkainya berhasil menapak dipekarangan rumah sakit.

"Arvie.." Lirih Sebastian.

Tanpa memikirkan sang ayah, Sebastian berlari kencang menuju ke dalam rumah sakit.

Saat perbincangan singkat ditelepon tadi, Sebastian merasa otak jenius yang dipuji-puji banyak orang itu seperti kehilangan akal dalam sekejab. Anak yang sedang dikhawatirkannya itu dikabarkan sedang terbaring tak sadarkan diri di tempat yang ia tak harapkan.

Itu rasanya seperti kau kehilangan setengah jiwamu. Begitulah Sebastian. Dan itu juga dirasakan oleh Opa Gibran saat ini juga.

Mereka memacu kencang larinya. Tak peduli berapa banyak orang yang lalu-lalang mereka tabrak secara tak sengaja. Tujuannya satu, ruangan yang Kiran sebut tadi.

Brakk

Sesaat Sebastian juga Opa Gibran terpaku ditempat. Namun cepat-cepat pria dewasa itu menuju ranjang tempat anak tersayangnya terlelap.

"Arvie..." bergetar suara Sebastian menyebut namanya.

Matanya sedikit berkaca-kaca dengan dominasi tatapan khawatir yang masih melekat.

Ia arahkan badannya mencondong merangkul sang anak. Sedikit rasa lega Sebastian rasakan sekarang. Anaknya, sekarang ada dalam pelukan hangat miliknya.

"I am sorry.. Now you safe, Papa was here, kiddo. Plis, open your eyes. I am scared, u know..."

Lirih, Sebastian begitu lirih menggumamkan kalimat itu ditelinga sang anak. Ia terus mengecup bergantian mata tertutup sang anak berkali-kali.

Air mata setitik turun dari mata yang biasanya menatap tegas dunia, padahal sebenarnya begitu rapuh pada dunianya sendiri. Arvie lah dunia sesungguhnya bagi Sebastian.

Ia bukan tidak tahu alasan kenapa anaknya itu bisa dengan mudah terbaring lemah kembali. Pasti ada yang membuka memori yang membuat anaknya takut.

Karena hanya ada dua hal yang bisa membuat Arvie yang padahal tadi pagi saja sehat bugar bisa dengan mendadak siangnya terkulai lemah. Sudah pasti karena remaja itu terlalu banyak berpikir suatu masalah yang mengakibatkan memori masa lalunya terbuka.

Di sampingnya, Opa Gibran hanya bisa mengelus pergelangan kaki cucunya. Ia sama khawatirnya dengan sang putra, namun ia hanya tidak mau mengganggu. Sama seperti lainnya, teman-teman Arvie yang sudah sampai ikut terdiam menambah kesunyian.

Tak ingin lama-lama melihat adegan sendu antara ayah dan anak, Kiran memilih keluar. Ia juga berniat memberi pengertian pada para sahabatnya.

Opa Gibran melangkah menuju sofa. Dibarengi dengan Sebastian yang memilih duduk dikursi samping ranjang. Tangan dan matanya masih setia memandang sang anak.

"Ran, ini kenapa sih??" seruduk Andaru pada Kiran.

Yang ditanya menggeleng lemah, "Gue gak tau Ru, tiba-tiba aja dia pingsan."

"Tadi aja di sekolah Arvie sehat gitu kenapa bisa coba sekarang malah diinfus begitu? Pulang tadi salah makan apa gimana, Ran?"

"Hm, gak masuk akal, kok bisa orang sehat pas pagi eh siangnya malah masuk rs, kecuali doi punya sawan pingsan," sahut Nevan pada Andaru.

When Your Father Was a SuperstarWhere stories live. Discover now