1 #Dimulai

1.2K 85 4
                                    

Garis polisi dipasang, seluruh halaman dipenuhi oleh reporter, mobil polisi, ambulance, dan warga sekitar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Garis polisi dipasang, seluruh halaman dipenuhi oleh reporter, mobil polisi, ambulance, dan warga sekitar. Seluruh saluran televisi menayangkan siaran langsung, mengabarkan kejadian naas yang menimpa 7 remaja di sebuah rumah besar. Darah mendominasi lantai satu, tubuh-tubuh tak berjiwa tertidur dengan darah sebagai alas tidur terakhir bagi mereka. 7 buah pistol berisi peluru menemani mereka, bagaikan teman terakhir penghantar tidur.

Lampu masih menyala terang memberikan harapan yang kandas sebelum tercapai. Video game masih menyala, lagu yang tersusun rapih masih diperdengarkan, televisi masih menyiarkan berita kematian mereka, semua masih normal dengan satu hal yang janggal.

7 jiwa ini pergi meninggalkan raganya dengan menyisakan pertanyaan. Siapa yang memperbolehkan 7 jiwa ini pergi?

════════════•>✾<•════════════

Sepasang sepatu yang berperan sebagai penghantar antara telapak kaki dengan tanah berderu kencang, bersahut-sahutan saat bel tanda masuk berbunyi. Deruan berhenti menyisakan tarikan napas tak teratur, berlomba-lomba mendapatkan oksigen sebanyak-banyaknya. Jaemin menyeka bulir keringat dari dahinya, "Mau lompat lagi?" tanyanya pada orang berseragam sama dengannya. Anggukan didapatkannya, keduanya melihat sekeliling, memastikan tak ada satu pun pasang mata yang menangkap keberadaan mereka. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Jaemin berteriak hingga tubuhnya tersungkur akibat matanya menangkap sesosok laki-laki yang tampaknya masih kecil, seragam khas pelajar sekolah dasar melekat di tubuhnya.

"Kenapa teriak? Dia bukan hantu!" Jeno mengulurkan tangannya guna membantu Jaemin berdiri. "Ada perlu apa ke sini? Bukankah sudah jam masuk sekolah? Kau sekolah di mana?" tanya Jeno pada anak itu, ia terlihat sangat polos dengan binar-binar di balik pupil matanya. Diambilnya kardus berbentuk persegi dari dalam tas, ia menunjukan apa yang tertulis di atas sana. "Murid baru?" ujar Jeno, ia pun mengangguk, kembali memasukan kardus ke dalam tasnya. "Lalu mau apa? Kau telat?" ia hanya mengangguk, seakan tak punya suara untuk menjawab pertanyaan dua orang yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya. "Kau bisa bicara tidak? Kenapa hanya mengangguk?"

"Kenapa tanya begitu!?" bisik Jaemin merasa tak enak jikalau anak itu benar-benar tidak bisa bicara seperti yang dikatakan Jeno. "Aku bisa," jawab anak itu, "Kenapa tidak bicara dari tadi?" Ia tersenyum, "Itu hanya buang-buang waktu."

"Jadi kalian mau lompat atau tidak?" tiga orang itu sontak menoleh, mendapati seorang berseragam sama dengan Jeno dan Jaemin sedang duduk di atas pagar, tasnya sudah berada di sisi lain—di dalam sekolah. "Kau siapa?" Orang itu menunjuk jahitan namanya yang sudah menyatu kuat dengan seragam. "Kau bisa baca kan? Jadi mau lompat atau tidak?" Sepersekon kemudian, anak itu membelah jalan, menyingkirkan Jeno dan Jaemin, ikut membawa tasnya ke sisi lain layaknya orang yang masih diam di atas pagar itu. "Kenapa diam? Bukankah kalian telat juga?" anak itu menyempatkan diri bertanya sebelum akhirnya berhasil masuk ke dalam lingkungan sekolah.

[✔️] Titip Nyawa || DreamiesWhere stories live. Discover now