2 #Hancurnya Sang Tertua

473 61 2
                                    

Serasa seperti nyawanya ditarik lalu terpantul dan masuk kembali ke dalam tubuhnya dalam posisi setengah sadar, Mark memandangi satu-persatu penghuni mobil yang sudah menutup mata mereka sepenuhnya, entah hanya menutup mata atau menutup usia

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Serasa seperti nyawanya ditarik lalu terpantul dan masuk kembali ke dalam tubuhnya dalam posisi setengah sadar, Mark memandangi satu-persatu penghuni mobil yang sudah menutup mata mereka sepenuhnya, entah hanya menutup mata atau menutup usia.

Hembusan napas yang terasa sangat berat dikeluarkan dilengkapi oleh rasa panas di sekujur tubuh Mark. Berharap nyawanya kembali sepenuhnya setidaknya untuk membuat mata keenam anak ini terbuka mengisyaratkan bahwa hidup mereka masih berjalan. Pandangan Mark buram, objek terakhir yang berhasil ia lihat adalah asap yang mengepul lebat di hadapannya.

Tangannya tanpa ragu mengguncang tubuh Jeno, melupakan fakta bahwa Jeno tidak menyukai sentuhan fisik dalam bentuk apapun, sekalipun Jaemin yang melakukannya. "Bangun..." rintihnya, "Kau masih tak mau bangun?" tambahnya dengan suara bergetar dan senyuman getir. "Renjun... bangun, siapa yang akan bernyanyi nanti?" sudah tau bahwa tak akan dijawab oleh lawan bicara, Mark kembali bersender pada jok mobil, berdiam diri hanya untuk mendalami rasa sakit di sekujur tubuhnya, kakinya terasa seperti sudah putus, bahkan beberapa saat lalu ia melihat darah mengalir dari kakinya yang tergencit.

Senyuman terukir di wajah Mark, tak begitu jelas tapi cukup jelas bagi Mark yang yakin bahwa dirinya sedang tersenyum saat gerombolan orang berlari ke arah mobilnya yang sudah nyaris tak berbentuk seperti mobil. "Tolong selamatkan mereka..." pintanya, tak ada yang mendengar, suaranya terlalu kecil seakan bicara pada Tuhan untuk tidak mengambil nyawa enam penumpangnya. Ia mengalihkan pandangan pada arlojinya yang pecah namun masih berfungsi untuk menghitung waktu sisa hidupnya. Matanya masih memfokuskan pandangan pada jarum jam, berusaha melihat pukul berapa ia mungkin akan berpulang ke tempat-Nya.

Pukul 7 dipilihnya. Matanya tertutup walau telinganya berhasil menangkap detik pertama kericuhan orang-orang di luar.

════════════•>✾<•════════════

Jisung melemparkan tasnya dan berhasil mendarat namun tidak mulus, tas itu mendarat tepat di atas kepala Renjun. "Mati kau," cibir Haechan dengan volume suara yang sangat kecil, "Park Jisung!!" Gelak tawa seketika pecah, "Jangan berkelahi! Renjun! Tanganmu masih belum sembuh! Jisung juga belum sembuh total, duduk!" perintah dari Jeno membuat Renjun berdecih, mengusap gips yang membalut tangan patahnya. Jisung menjulurkan lidahnya menyuarakan kemenangan.

Ia beralih duduk di sebelah Mark yang sedang bergelut dengan soal-soal fisika, raut wajahnya dapat menggambarkan seberapa sulit soal itu yang justru membuat Jisung bingung, pasalnya setau Jisung bahkan semua orang di rumah ini tau bahwa Mark adalah orang yang pintar dalam segala bidang, tak jarang Mark membantu adik-adiknya dalam mengerjakan latihan soal.

"Apakah itu sulit?" tanya Jisung, Mark pun segera mengangguk, "Bukankah kau pintar? Sesulit apa soal itu?" Kali ini Mark menoleh, ekspresinya berubah seperti orang terkejut. "Apa aku pintar?" Jisung mengangguk kebingungan, "Kenapa tanya padaku? Kan kau yang tau seberapa pintar dirimu."

[✔️] Titip Nyawa || DreamiesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant