7 #Dia Tak Diakui - Mereka Pulang

206 42 1
                                    

Mata Haechan tak berhenti bergerak memandang Mark dan Renjun secara bergantian karena memang hanya ada mereka bertiga di sini, tak ada Chenle, Jisung, Jeno, bahkan Jaemin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mata Haechan tak berhenti bergerak memandang Mark dan Renjun secara bergantian karena memang hanya ada mereka bertiga di sini, tak ada Chenle, Jisung, Jeno, bahkan Jaemin. Rumah yang biasanya gaduh kini hening, terasa dingin dan tegang.

"Aku mau pulang," ujar Haechan sembari meraih tasnya yang tergeletak tepat di sebelahnya, "Kenapa?" Tubuhnya berbalik, membalas tatapan mata Mark, dan menjawab pertanyaan anak itu, "Hanya ingin pulang, kenapa harus ditanyakan?" Mark menutup buku novel di tangannya, "Kenapa semua orang jadi dingin sekarang?" Ia mengedikan bahu, "Mana ku tau."

Bohong. Haechan tentu tau alasan kenapa semua orang menjadi dingin, kenapa sekarang hanya ada tiga orang di rumah ini, kenapa dia dan Renjun tak lagi meributkan hal kecil setiap detiknya, atau kenapa Mark tak memainkan gitarnya sebagai latar lagu di segala suasana, Haechan tau semuanya.

"Tak ada yang mau kau tanyakan lagi?" Mark menghela napas berat, ia menggeleng mengisyaratkan bahwa Haechan sudah boleh pergi sekarang. Anak yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya itu pun keluar dari rumah, bermaksud pulang menggunakan transportasi umum sebelum matanya menangkap mobil terparkir di luar pekarangan rumah. Haechan berdecak sebal, lagi-lagi mobil itu ada di sana tanpa ada nya perintah dari dirinya.

"Kenapa datang lagi?" tanya Haechan pada orang di balik kemudi, "Tuan yang minta, seperti biasa." Jawaban monoton yang sebenarnya Haechan sudah tau dan selalu dengar setiap ia melontarkan pertanyaan yang sama. Haechan membiarkan tubuhnya masuk dan duduk di dalam mobil itu, menyenderkan tubuhnya pada jok mobil, menganggukan kepalanya pertanda mobil sudah boleh dijalankan.

Sepanjang perjalanan pun Haechan hanya memanfaatkan indra pengelihatannya untuk melihat indahnya dunia di balik hancurnya hidupnya, memiliki ayah yang bahkan tak mau mengakui dirinya sebagai anak dengan alasan malu perihal prestasi dan perilakunya.

Disembunyikan dari khalayak ramai walaupun ayahnya adalah sosok penting bagi berdirinya sekolah yang sekarang dan dari dulu menjadi tempat Haechan menimba ilmu hingga tak ada satu pun warga sekolah yang tau bahwa Haechan adalah anak dari pemilik sekolah terkenal itu.

Alunan lagu berhenti, membuat Haechan menolehkan kepalanya, "Sudah sampai..." pungkas pria di depannya. Haechan keluar dari mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun bahkan ucapan terima kasih, kaki jenjangnya membawa dirinya masuk ke dalam rumah yang sebenarnya. Ia terus berjalan tanpa memedulikan sekitar, bibi yang sedang membersihkan ruang tamu atau bahkan ayahnya yang sedang menonton di ruang televisi.

"Sudah pulang?" Kali ini Haechan menghentikan langkahnya, tak ada niatan untuk berbalik kalau saja saura derap kaki tak tertangkap di telinganya. "Anak-anak itu tak lagi mengurung mu? Bagus jika kau sudah tak bergaul dengan mereka, mereka hanya pembawa sial."

Tanpa disadari, Haechan menyalurkan emosinya pada kedua kepalan tangannya yang kian mengeras karena matanya terlalu lama memandang wajah sang ayah. Ayah berbalik, mengambil koran yang tergeletak di atas meja, kembali duduk, dan membuka lebar koran tersebut hingga menutupi wajahnya.

[✔️] Titip Nyawa || DreamiesWhere stories live. Discover now