10 #Mereka Semua Pulang

401 41 1
                                    

Rumah yang biasanya riuh, bising dengan suara tawa bahkan teriakan, terasa menyenangkan, hangat, dan mampu melindungi kini berubah 180 derajat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rumah yang biasanya riuh, bising dengan suara tawa bahkan teriakan, terasa menyenangkan, hangat, dan mampu melindungi kini berubah 180 derajat. Hanya lampu ruang utama yang menyala, ditemani suara dari siaran televisi yang tadi dinyalakan oleh Jisung, sayangnya anak itu tidak bisa menonton siaran televisi yang ia nyalakan hingga selesai. Jeno merasa diintimidasi, Matt terus melangkah maju, menunggu dirinya untuk menjawab atau bertindak.

"Ah, aku lupa bahwa kau tidak tau siapa diriku." Jeno mengernyit, bagaimana bisa dia tidak tau? Mereka sudah berteman sejak lama, mana mungkin Jeno tidak tau bahwa orang di depannya adalah Mark?

"Orang yang kau kenal bernama Mark kan? Mark Lee lebih lengkapnya." Mendengar itu entah dapat pencahayaan dari mana, Jeno semakin menguatkan posisinya, orang di depannya ini aneh, tidak seperti Mark pada biasanya. "Aku bukan Mark yang bisa kalian banggakan itu, aku berbeda." Jeno menghentikan langkah mundurnya, bukan karena ia merasa keadaan membaik, melainkan karena punggungnya sudah menabrak tembok yang tandanya dia sudah di ujung ruangan.

"Langsung ke intinya." Matt mendengus, ia kembali mengangkat pistolnya santai, "Kalau kau minta intinya, mungkin kau akan ku bunuh sekarang, tapi kurang seru kalau begitu. Lebih baik aku membuat mu menjadi orang terakhir yang mengetahui semuanya sebelum mati."

"DIAM!"

"Aku tidak bergerak, kau yang terus mundur, kalau jaraknya terlalu jauh nanti pelurumu meleset, lalu aku tidak jadi mati, mau begitu?" Matt diam, keheningan seperti ini membuat jantung Jeno semakin cepat berdetak, ia tidak tau apa yang akan dilakukan lawan bicaranya setelah ini. Sekarang orang di depannya hanya diam, menatap lurus tepat ke manik matanya, sepersekon kemudian dia tertawa, berbalik, lalu duduk di sebelah tubuh Haechan, ia bahkan membiarkan tangannya menyentuh darah segar milik Haechan.

"Ayah menyuruhku berhati-hati dengan Haechan, alasannya karena pertemanan Mark dan Haechan terjalin paling lama di antara semuanya. Tapi ku rasa bukan itu masalahnya."

Jeno memutar posisinya, menjadi semakin jauh dari tempat Matt duduk, masa bodo tentang omongan orang itu perihal peluru meleset, Jeno sedang takut sekarang. "Dia anak pemilik sekolah, dia tau bagaimana keadaan dan latar belakang kita semua. Kau ini bodoh atau bagaimana? Anak ini tak mungkin membuat kalian ada di rumah bodoh ini tanpa suatu alasan." Kedua tangan Jeno kini menurun, fokusnya berpindah pada raga Haechan yang sudah berlumuran darah. Haechan anak pemilik sekolah? Kenapa dia tidak tau? Atau hanya dia yang tidak tau?

Pandangan mata Matt beralih menatap Renjun, ia tersenyum tipis lalu kembali menoleh pada Jeno, "Tolong nanti beritau temanmu yang satu itu bahwa yang seharusnya marah perihal kecelakaan itu adalah aku, kalian tak punya hak atau bahkan hal yang perlu dikasihani untuk dicap sebagai korban hingga harus marah pada Mark."

Jeno merasa kepalanya akan pecah sekarang, orang itu sebenarnya membicarakan apa, kenapa merembet kemana-mana? Kenapa dia terus memanggil dirinya dengan namanya, padahal dia bisa aja menggunakan kata ganti 'aku.' "Mark mati, kalian selamat, lalu untuk apa kalian marah, bukankah seharusnya kalian berterima kasih?" Pupil mata Jeno membesar sempurna, apa katanya!? Mark mati!? Lalu siapa orang yang sedang bersamanya sekarang?

Tepat setelah Jeno beradu argumen dengan kepalanya sendiri, orang itu berdiri, membersihkan tangannya dari darah milik Haechan dengan tangannya yang lain. Ia meraih kembali pistolnya, memutar-mutar pistol itu dengan jarinya seakan pistol tersebut adalah mainan yang tidak berbahaya bagi nyawa siapa pun. Matt menghela napas ringan, lalu berkata, "Harus ku jelaskan bagaimana lagi agar kau mengerti? Mark mati, yang di depan mu sekarang ini bukan Mark, apa kau masih bingung?"

Melihat Matt yang terus memotong jarak antar keduanya, Jeno kembali mengangkat pistolnya, kedua telapak tangannya kini semakin berkeringat, sekujur tubuhnya bergetar, kakinya bahkan terasa lemas, dia tidak mau mati konyol seperti ini. "Perkenalkan, Matt." Penghujung kalimat tersebut ditutup dengan ujung pistol yang menempel pada dahi Jeno. Jeno merasakan untuk pertama kalinya rasa dinginnya ujung pistol, jadi ini atmosfer yang dirasakan Jaemin tadi? Dia benar-benar ingin memutar waktu sekarang jika itu memang mungkin.

"Ada pertanyaan sebelum mati?" Beberapa detik Jeno gunakan untuk menenangkan dirinya, sisanya digunakan untuk memberanikan diri melempar pertanyaan, terakhir, ia pun bertanya, "Kenapa kau bunuh orang-orang tak bersalah seperti kita?" Matt jelas saja tertawa, pertanyaan macam apa itu? "Jangan berlagak seperti orang tersuci, di luar pertemanan ini pun kalian adalah orang yang bersalah. Bahkan dengan kalian yang membiarkan Mark mati sendirian adalah sebuah kesalahan."

"Tapi kau masih-"

"AKU BUKAN MARK!"

Gila. Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa dia bukan Mark, lalu tadi apa katanya? 'Perkenalkan, Matt.'? Jadi namanya Matt?

"Ada pertanyaan lagi?" ujarnya setelah menghela napas kasar. Jeno sangat ingin memastikan siapa orang ini, walau terkesan bodoh karena sudah diberitahu berulang kali, Jeno tetap ingin bertanya, "Kau siapa?"

"Matt."

"Jelaskan dengan lengkap, kenapa kau bisa di sini?"

"Karena Mark menitipkan kalian padaku? Tapi sayangnya aku tak mau mengurus kalian, lebih baik susul Mark, biar dia urus kalian di sana."

"Kau marah atau benar-benar tak mau mengurus kami?"

"Keduanya? Untuk apa mengurus pembunuh, tak ada gunanya."

"Pembunuh katamu?" Matt hanya mengangguk, ia semakin menekankan pistol pada dahi Jeno, "Orang-orang tak berperasaan seperti kalian yang pantas mati." Jeno mati-matian berusaha melawan rasa takutnya, Mark... ah ralat!, Matt tampak sangat menyeramkan bahkan jika dilihat dari air wajahnya saja dia benar-benar seperti orang yang siap membunuh siapa pun yang lewat di hadapannya.

"Ayo hitung mundur." Jeno tersentak, hitung mundur seperti tadi? Jadi mereka akan menembak satu sama lain? "Ah, sebentar. Aku kasihan, kau terlihat seperti orang bodoh. Biar ku beritahu, aku adik kembar Mark Lee."

"Kem-!?"

"Satu."

DUAR!!

Satu raga kembali tumbang, lagi-lagi dengan darah yang mengalir dengan lancar dari dahinya, peluru bersarang di sana menyebabkan dahi itu bolong dengan sempurna. Sang pelaku mematung di tempatnya, menatap raga yang sudah tak bernyawa itu, lalu ia melihat sekeliling, berjalan ke tempatnya yang sebelumnya, berdiri di antara yang lain.

Untuk ketiga kalinya dia merasakan bagaimana dinginnya ujung pistol bila diletakan pada dahi, namun dia memiliki sensai baru karena kini ujung pistol yang lain bersentuhan dengan dagunya. Iya, dia memiliki dua pistol bersamanya.

"Kak, maaf... aku bawa mereka semua pulang pada mu, aku izin ikut ya? Dunia terlalu kejam, aku ingin mati."

"Jangan salahkan aku... dunia yang membuatku begini."

Ia memejamkan matanya, membiarkan kupingnya mendengar suara terkecil yang dibuat bumi dan dengan bantuan manusia, satu suara nyaring mendominasi, suara sirine yang saling bersautan. Kulitnya juga bisa merasakan seberapa dingin ruangan ini sekarang, hampir sama dinginnya dengan ruangan tempat ia hidup di rumah, sangat menggambarkan seberapa kosong dirinya.

"Di sana indah kan?"

Ia mengernyit, suara orang-orang yang berusaha mendobrak pintu benar-benar bising, di luar sangat berisik.

BRAK!!


"Sampai bertemu, Kak Mark..."

DUAR!!


Matt pulang, sendirian, dengan usahanya sendiri. Apa sekarang akan ada yang memujinya karena berhasil menyelesaikan sesuatu dari hasil usahanya sendiri? Matt harap begitu.

[✔️] Titip Nyawa || DreamiesWhere stories live. Discover now