04.

728 105 7
                                    

Tentu hubungan Jisung dengan Jeno menjadi topik utama di sekolah mereka. Jeno adalah orang yang berpengaruh, begitupun Jisung yang mendapatkan bantuan dari Minho.

Mereka adalah pasangan yang serasi, sangat sempurna.

Semuanya berjalan seperti itu, hingga lebih dari setahun. Yang tanpa Jisung sadari, tinggal menghitung mundur hingga ia benar benar kehilangan.

Tepatnya di acara kelulusan mereka. Malam puncak acara prom night yang mana dibintangi oleh mereka berdua sendiri, berujung tragedi.

Malam itu, Jisung menangis sejadi jadinya. Tepat di depan mata kepalanya sendiri, Jisung menyaksikan kekasihnya mati. Di tangan Minho.

"Aku membencimu! Dia salah apa apa kenapa kau membunuhnya?"

Minho tidak bergeming ketika Jisung memukul dadanya sambil menangis. Belati yang berlumurah darah masih Minho pegang erat, pun tangan Jisung dipenuhi oleh darah Jeno, Minho masih berdiri di sana tanpa ekspresi.

"Salahnya adalah mencintaimu, dan dicintaimu. Kau yang memberikan maut untuknya, jangan menylahkanku, itu adalah pengorbananmu yang pertama."

Jisung tertegun. Ia tidak paham, pengorbanan apa? Minho tidak menjelaskan itu sebelumnya.

"Maksudmu dia adalah nyawa untuk perjanjian kita?"

Minho tidak menjawab. Ia berjalan mendekati tubuh Jeno yang tergeletak di kasur dengan darah di mana mana, "Orang tuanya pasti sangat terkejut melihat anaknya mati mengenaskan di kamarnya sendiri, di hari yang seharusnya spesial dan membahagiakan."

Jisung sudah jatuh terduduk. Ia tidak menyangka, Minho akan meminta nyawa. Harusnya ia sudah memikirkan ini, mana mungkin iblis itu mengabulkan permintaannya dengan cuma cuma.

Yang jelas, Jisung menyesal. Jisung menyesal telah jatuh cinta, Jisung menyesal mengenal Jeno, Jisung menyesal dicintai.

"Kau masih akan berdiam diri di sini? Atau kau ingin menyerahkan diri?"

"Aku bukan pembunuh."

Minho memutar bola mata, "terserah."

Minho beralih meraih lengan Jisung dan menariknya keluar kamar Jeno. Jisung pun hanya terdiam, membiarkan Minho membawanya pergi, namun Jisung sudah menetapkan satu hal. Hari itu, Jisung sangat membenci Minho.

▪︎▪︎▪︎

Sekali lagi, Jisung sudah gagal menjaga orang yang ia sayangi. Jisung terlambat menyadarinya, Jisung kira dengan mengelak ia bisa menyelamatkan Juyeon. Seorang lelaki yang baru sebulan yang lalu menyatakan cinta ke Jisung, namun Jisung tolak. Karna Jisung tau ia tidak bisa mencintai siapapun, atau pengorbanan selanjutnya akan terjadi.

Sudah 10 tahun sejak Minho mengambil nyawa Jeno, pengorbanan pertama Jisung. Seharusnya Jisung tau iblis itu membutuhkan lebih banyak darah. Juteon adalah pengorbanan Jisung yang ketiga. Jisung sudah berusaha untuk tidak jatuh kepada siapapun, menjaga dirinya sendiri agar tidak menjalin hubungan percintaan dengan siapapun selama 5 tahun namun tetap berakhir mengorbankan nyawa lain.

Mengenal Juyeon selama 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Jisung hanya ingin memiliki orang lain yang bisa ia jadikan tempat pulang, tempat bersandar, tempat berbagi, dan Juyeon adalah orang yang sempurna untuk itu. Yang Jisung inginkan adalah keluarga, meskipun itu bersifat semu.

Tapi kini, Jisung menghadiri pemakaman Juyeon di bawah guyuran hujan, serta orang tua Juyeon yang mengatakan pada Jisung untuk merelakan Juyeon.

Bagaimana Jisung bisa merelakannya kerika Jisung sendiri tau ialah penyebab kematian Juyeon. Andai mereka tau.

"Maaf, maafkan aku– hiks,"

Kata itu terus terucap tanpa orang tua Juyeon ketahui maksud sebenarnya dari permintaan maaf Jisung.

"Kenapa meminta maaf huh? Juyeon pasti sudah memaafkan semua kesalahanmu sebelum itu, jangan menangis lagi," ibu Juyeon menarik Jisung ke dalam pelukannya, menenangkan Jisung yang tangisannya lebih pilu ketimbang dirinya.

Bagaimana pun juga, sekali lagi, Jisung menyesal. Harusnya ia tidak boleh terlalu dekat dengan Juyeon, harusnya mereka tidak perlu berteman, harusnya Jisung pergi lebih cepat ketika sadar perasaannya mulai salah.

Nyatanya, meskipun Jisung tidak mengakui perasaannya, meskipun Jisung tidak menerima perasaan Juyeon, sang iblis tau mereka saling mencintai.

Di detik itu Jisung sadar, yang ia korbankan bukan sekedar nyawa atau darah, namun juga kebahagiaannya, cintanya, perasaannya. Sang iblis tidak akan membiarkan Jisung bahagia dengan mencintai seseorang atau dicintai seseorang karna pada akhirnya yang ia dapatkan adalah perasaan sakit karna ditinggalkan dan perasaan bersalah yang tidak berujung. 

Dan saat itu juga Jisung bersumpah tidak akan jatuh cinta atau membiarkan orang lain jatuh cinta padanya. 

"Aku akan pergi jika kau tidak ingin pulang."

Jisung tidak bergeming. Ia masih memandang kosong makam Juyeon. Kini tinggal Jisung sendirian, dengan Minho yang berdiri di belakangnya sambil membawa payung hitam meski hujan sudah berhenti sekitar 10 menit yang lalu.

"Kalau begitu pergilah. Aku tidak pernah memintamu tinggal."

Minho memandang punggung Jisung dengan tatapan datarnya. Jika dihitung, ini adalah nyawa kedua- ah tidak, ini adalah nyawa ketiga yang Minho ambil namun yang kali ini Jisung terlihat lebih merasa kehilangan dibanding sebelumnya. 

Iya, ternyata Minho salah ketika berpikir Jisung sudah kehilangan hatinya, karna nyatanya Jisung lebih rapuh dari yang Minho kira.

Tanpa mengucap sepatah kata, Minho berbalik meninggalkan Jisung sendirian. Sesuai keinginan Jisung, Minho pergi, dan Jisung kembali larut dalam kesedihannya.

Jisung keluar dari area pemakaman ketika langit mulai berubah menjadi jingga. Jisung mendongakkan kepalanya sebentar, menahan air matanya yang akan turun. Ah, ia baru saja memutuskan untuk berhenti menangis kenapa sekarang air matanya ingin keluar.

Akhirnya Jisung memutuskan untuk melangkahkan kakinya menjauh, mungkin sekaleng cola bisa meredakan tenggorokannya yang kering akibat kebanyakan menangis. 

Setelah mendapatkan colanya Jisung mendudukkan diri di pinggir trotoar sambil menunggu taksi lewat. Masa bodo dengan orang orang yang menganggap nya aneh karna duduk di pinggir jalan. Tak lama kemudian, Jisung terkejut ketika seekor kucing mengelus kakinya dan mengeong.

Jisung tersenyum kecil lalu mengelus punggung kucing kecil itu yang dibalas oleh dengkuran manja dari si kucing. 

"Aku tidak punya makanan, maaf." Gumam Jisung pada si kucing.

Tepat setelah itu, Jisung melihat taksi yang akan melewatinya. Jisung berdiri, melambaikan tangannya untuk memanggil taksi.

"Maaf sweety, aku harus pergi."

Taksi itu sudah berhenti tepat di depan Jisung, namun Jisung tidak langsung masuk, ia malah berhenti ketika kucing itu mengeong dan mendongak padanya.

Jisung menghela nafasnya, "oke, kau ikut pulang untuk makan dan mandi," lalu mengangkat tubuh kucing itu. "Aku tidak bisa menampungmu terlalu lama karna aku tinggal bersama iblis, aku tidak tau apakah iblis memakan kucing."













Maap pendek soalnya ini masih termasuk draft lama🤧

Leviathan | MinsungWhere stories live. Discover now