01. Bukan Casting

291 41 25
                                    

Lelaki dengan setelan jas serba hitam menepuk pundak yang tidak bersemangat. Dia berbalik tak minat untuk melihat siapa yang membangunkan lamunan yang sudah ia lakukan beberapa menit yang lalu.

"Arsya?"

Yang ditanya hanya mengangguk kecil. Sebenarnya dia sendiri tidak tau bagaimana lelaki dewasa ini mengenalnya. Menjadi seorang produser musik yang masih baru tidak mungkin seterkenal itu, bahkan karya nya yang terpampang di aplikasi resmi pun masih belum menembus angka seratus ribu pendengar.

"Ikut saya."

Dia mengangguk lagi. Entah kenapa ia mau menerima ajakan lelaki bertopi yang berjalan mendahului, tapi rasanya tak ada opsi antara memilih 'ya' atau 'tidak'.

Setelah menginjak disalah satu gedung yang juga sama hitamnya dengan setelah lelaki ini, pemuda yang dipanggil Arsya tadi mulai berpikir.

'Oh mungkin gue mau di casting masuk agensi?'

Matanya terus sibuk memperhatikan beberapa orang yang menurutnya pekerja dengan style sama. Serba hitam, mulai dari setelan jas, topi, kacamata, sepatu, bahkan dasi nya pun hitam.

"Silahkan masuk." Perintah lelaki tadi yang menyuruhnya ikut.

Arsya hanya duduk sambil celingak-celinguk. Di ruangan ini hanya ada satu meja dan dua kursi saling berhadapan. Hanya untuk dirinya dan satu orang tadi. Lainnya? Kosong. Padahal ruangan ini cukup luas, tapi ia pikir mungkin sang pemilik memang tak suka menambah aksesoris apapun untuk membuat suasana terlihat lebih natural dan luas.

Arsya tidak punya wewenang untuk bertanya, apalagi berpendapat. Jadi dia memilih diam dan menghormati apapun kesukaan orang yang sedang membaca kertas di hadapannya.

"Arsya Gymnastiar Hessel Afgean?" Tanyanya.

Arsya mengangguk. "Iya, itu saya."

Kemudian lelaki tadi tersenyum padanya, menghela napas cukup berat lalu bertanya lagi. "Anda sudah siap mendengar apa yang saya sampaikan?"

"Iya, saya siap." Ujar Arsya yang terkesan mau mau saja.

Lelaki tadi tersenyum kembali, kini deretan giginya terlihat.

"Arsya Gymnastiar Hessel Afgean, anda dinyatakan meninggal karena kecelakaan tabrak lari yang anda alami. Kemarin malam. Pukul sebelas lebih tiga puluh tujuh malam, di Jalan Raya Timur II. "

Arsya menelan pelan-pelan kalimat yang lelaki tadi ucapkan. Apa katanya? Dia meninggal?

Sebenarnya Arsya cukup ragu untuk bertanya. Bisa saja ini cuma prank seperti yang orang lain lakukan, lalu di unggah ke media sosial sebagai konten.

"Maaf, apa? Saya meninggal? Kata siapa?" Tanya Arsya santai.

"Kata kertas dalam berkas saya—"

Tok tok tok

Kalimat lelaki tadi terpotong, satu orang lagi datang—dengan tampang yang hampir sama—dan memberikan kertas lainnya yang juga sama-sama berwarna putih lalu berbisik.

Lelaki pertama yang mengajak Arsya kemari itu membuat ekspresi bingung sekaligus terkejut, terlihat dalam lengkungan di alisnya dan matanya yang melotot kearah Arsya.

Arsya tidak nyaman, kedua lelaki itu terus berbisik seolah Arsya tidak hadir disini.

"Maaf, kalau kalian sibuk saya bisa pergi dari sini." Arsya bangkit, hampir meninggalkan keduanya. Namun lelaki pertama yang tinggi badan nya lebih pendek mencegahnya. Menyuruhnya untuk duduk kembali.

Lelaki pertama tadi menutup kedua matanya dan menghela napas gusar, berusaha menenangkan pikirannya yang terlihat berat dan kalut.

"Saya teruskan." Ucapnya yang mulai membaca kertas baru yang ia dapat dari rekan nya. "Arsya, anda seharusnya sudah ada disini lima tahun yang lalu. Tapi kenapa anda baru sampai? Bahkan harus saya jemput."

"Saya sampai disini? Untuk apa?"

"Tolong, pekerjaan saya banyak. Saya sudah katakan kalau anda sudah meninggal, anda sudah tiada." Tegasnya sekali lagi. Terlihat sekali kalau lelaki ini benar-benar kelelahan.

"Maaf, kalau anda melakukan lelucon seperti ini lagi saya akan pergi." Ujar Arsya biasa saja.

"Pegang dada kamu." Perintahnya. "Pegang dan coba rasakan, apakah masih ada?"

Arsya hanya menurut. Dirinya terkejut bukan main, detak yang selalu ia tenangkan waktu mengalami masa-masa sulit hilang. Rasanya dalam diri Arsya ada yang hampa dan serasa direnggut paksa.

"J-jantung saya?!" Tanya Arsya tergugup. Arsya mulai panik dengan detaknya sendiri yang tidak terasa di telapak tangannya.

"Dimohon tenang."

"JANTUNG SAYA MANA?!"

"Saya mohon tenang, bapak Arsya."

"Gue bukan bapak Lo!" Arsya kehilangan kendali dirinya sendiri. Ia melangkahkan pergi dari ruangan dan berlari entah kemana ia juga tidak tahu.

Yang penting ia ingin segera keluar dari sini. Namun sia-sia, perjalanan nya hampir satu jam tak membuahkan hasil. Ia terus berputar di lorong yang sama. Pintu yang tertera dalam lorong yang ia lewati pun juga sama. Setiap dia membuka pintu hitam itu pasti ada lelaki tadi yang duduk menatapnya santai.

"Jawab! Saya dimana?!" Tanya Arsya penuh emosi, tangannya mencengkram kerah baju lelaki tersebut.

"Anda dalam perjalanan ke alam baka."

Deg.

Kedua kaki Arsya melemas, ia mulai menotis kalau sekarang dirinya sudah tidak kesusahan bernafas. Padahal sebelumnya disaat seperti ini nafas Arsya yang paling pertama menjadi perhatian nya.

Arsya, sudah tidak bernafas.

"Karena anda menyalahi takdir yang sudah tuhan berikan, anda diberi satu kesempatan lagi. Untuk kembali dan mencari tau sendiri penyebab anda tidak kemari lima tahun yang lalu."

"Kok gue? Kenapa gak Lo aja?" Tanya Arsya seolah menantang.

"Itu tugas anda, bukan tugas kami. Tugas kami hanya mendata dan menampung sementara."

"Tapi—"

Ting!

Tiba-tiba lelaki tadi mengeluarkan bel dari telapak tangannya yang kosong. Mengguncang sekali bel emas itu dan tersenyum.

"Ingat hanya cari tau, bukan mengubah nya."

.
.
.

"Hanya mencari tau, bukan mengubah nya."

Arsya ; second lifeWhere stories live. Discover now