10. Kepingan Memori

38 9 1
                                    

Mau tidak mau Arsya harus ikut berkeliling bersama Joan, menitipkan beberapa dagangan nya di warung-warung terdekat.

"Buk, seperti biasa Joan titip siomay ya."

Ibu warung menampakkan diri, memegang beberapa lembar kertas berwarna untuk diberikan kepada Joan.

"Ini uang kemaren ya nak, katanya banyak anak-anak yang suka siomay nya nak Joan." Ujar ibu itu sambil menyalurkan uang kertas. "Kata mereka enak."

Senyum simpul terpampang nyata pada wajah pemuda tersebut, perasaan bahagia tak bisa ia tutupi begitu saja.

"Makasih buk, Alhamdulillah kalo banyak yang suka."

Entah kenapa suasana disini sedikit lebih haru.

Dan, Arsya tidak terlalu suka hal itu.

Manik Arsya terus menyisir tanah lapang yang sering digunakan sebagai tempat bermain bagi anak sekolah dasar dan bangku menengah pertama.

Kenangan diri nya yang selalu menjadi pemain cadangan pun terulang. Bukannya apa-apa, tapi nyatanya pemain cadangan tidak selalu dimainkan, ia hanya akan ikut andil jika salah satu dari teman nya pulang ke rumah karena panggilan negara, yaitu dari sang ibunda.

"Karena Haqi di suruh pulang, kamu gantiin posisi dia." Ucap bocah yang memiliki mulut kecil dan pipi chubby. Tugasnya adalah sebagai penjaga gawang.

Arsya kecil terlonjak sangat senang. Walaupun hanya sebagai opsi kedua, namun kehadiran nya yang menjadi penutup kekurangan masih bisa membuat bunga-bunga yang tadinya layu menjadi bermekaran memenuhi dada.

"Arsya bukan begitu caranya!"

"Huuuu!"

"Kalah kan kita!"

"Udah gak usah main sama Arsya lagi!"

Segala sorakan Arsya kecil terima, dirinya yang tidak mahir dalam permainan bola harus ia paksa sendiri agar dapat bergabung dengan mereka. Julukan 'tidak laki kalau tidak main bola' membuat Arsya berusaha lebih lagi agar tidak menjadi yang tertinggal lalu dikucilkan.

Sebenarnya Arsya kecil benci mengejar satu bola yang menggelinding tanpa jati diri. Arsya kecil benci benda bulat itu mau mau saja digerakkan tanpa keinginan sendiri untuk mengikuti arahan orang lain yang bahkan mungkin tidak dikenalnya.

Hingga akhirnya Jaka dengan segala keberanian nya menghalau yang lain agar tidak berkerubung mengitari Arsya kecil yang tengah terduduk takut sambil menutup rapat-rapat daun telinganya.

"Cuma masalah itu saja kalian marah?!" Teriak nya dengan lantang.

Lantas salah satu dari mereka membalas. "Arsya gol bunuh diri! Dia tidak tau caranya bermain!"

"Ya sudah tidak usah dimarahi sampai seperti itu! Ayo Arsya kita pergi saja!"

Disaat itu juga Arsya kecil merasa bahwa ia menjadi bola kedua. Ia tidak mengenal Jaka yang sedang menarik tangan nya menghindar dari yang lain. Tapi tanpa keberatan Arsya tetap mengikuti langkah Jaka tanpa berani berucap apapun.

"Tidak apa-apa tidak bisa bermain sepak bola, kita main yang lain saja." Anak itu mengulurkan tangan nya kemudian. "Janaka."

Arsya kecil pun membalas. "Arsya."

Kenangan kecil yang terasa perit dan bahagia disaat yang bersamaan menghantarkan diri nya kembali kepada sosok Jaka yang masih belum bertemu dengan nya. Jika nanti Jaka sudah di depan mata, ia akan mengajak Jaka seperti dahulu—bermain engklek dan bersepeda dengan Arsya yang berdiri di belakang punggung Jaka  hingga ban sepeda yang mereka kayuh mulai kehabisan angin.

Arsya ; second lifeWhere stories live. Discover now