04. Janggal(lagi)

88 21 5
                                    

Arsya pulang dengan perasaan tak dapat di utarakan. Kalut, bingung, bahagia.. semuanya terasa sangat buntu di dalam pikirannya.

"Eh Arsya sudah pulang?"

Suara berat dari depan televisi menghentikan langkah Arsya menuju kamarnya. Dilihatnya lamat-lamat pria paruh baya dengan rambut putih yang mendominasi.

Napas Arsya semakin cepat, dada nya naik turun kehilangan irama awal-tidak seperti biasanya. Pun jantung nya yang terasa sesak dan ingin membludak saat pria yang mempunyai hubungan darah dengan nya itu bangkit dan memandang nya kebingungan.

"Arsya kamu kenapa?" Tanya sang ayah sembari memakai kaca matanya. "Ada apa? Kamu sakit?"

Tanpa basa-basi Arsya mendorong kuat ayahnya hingga pinggang yang rapuh itu terantuk sofa merah maroon milik keluarga nya.

Sang ayah yang naik pitam tak membalas pergerakan putra nya yang tiba-tiba. Lantas ia hanya terduduk sejenak sembari memandang teduh wajah Arsya yang mulai memerah karena marah.

"Arsya!" Teriak wanita, yang ternyata ibu Arsya yang baru saja kembali dari luar rumah.

Beliau segera membantu ayah Arsya untuk berdiri, dan menatap putranya penuh tanda tanya.

"Arsya kenapa? Ada apa ini?" Tanya ibu nya dengan nada suara yang terlihat panik.

Arsya semakin marah, tangan nya terkepal kuat namun enggan menjawab kalimat ibunya. Hingga akhirnya sang ayah yang harus memulai bertanya dengan baik-baik kepada nya.

"Arsya?" Ayah Arsya melangkah. "Ayah ada salah ya sama Arsya? Kalau ada ayah minta maaf ya nak?"

Sial. Dinding pertahanan yang Arsya buat agar tahan dalam situasi ini pun runtuh. Air mata nya meluruh begitu saja tanpa aba-aba. Dengan segera ia menyeka linangan bening yang membasahi pipi nya itu. Setelahnya Arsya berjalan cepat, pergi dari hadapan sepasang manusia yang telah merawat nya hingga kini.

Pandangan kedua insan yang tengah bertanya-tanya itu hanya terpaku pada punggung Arsya yang menghilang dari daun pintu.

Sang ibu yang tak percaya apa yang terjadi hanya bisa mengutarakan nya dengan air mata.

"Arsya, kenapa yah?"

Ayah Arsya mengusap pelan pundak istrinya, mengisyaratkan untuk tenang. "Gapapa, mungkin dia cape aja. Ayah juga gak terlalu sakit kok." Ucap ayah Arsya yang mulai menggerakkan pinggang nya yang tadi menabrak sofa-seperti gerakan pemanasan sebelum olahraga.






















Arsya sampai di trotoar yang dimana tidak terlalu banyak pejalan kaki disini. Suasana sore yang berlangit jingga pun nampak sangat anggun, menyelimuti batin Arsya yang terlihat berkabut.

Pemuda itu berteriak, menjambak, dan mencabik-cabik rambut nya sendiri hingga memukul dada nya. Terlihat bahwa dia merasa sangat frustasi akan hal yang ia temui tadi.

"Kenapa?! Kenapa harus ayah? Kenapaaa?!" Teriaknya entah pada siapa.

Mungkin pada satu dua pejalan kaki yang melintas, atau mungkin juga kepada semesta yang menaungi nya.

"KEENAPA HARUS AYAH LAGI?! KENAPA?! KENAPA HARUS DIA LAGI DIA LAGI?!"

Kali ini Arsya lebih brutal. Kaki nya lemas dan menyapa langsung trotoar yang terlihat dingin dan berdebu.

Ingatan tentang perlakuan kasar ayahnya terkenang lagi. Perilaku yang tak pernah Arsya duga sebelumnya. Hingga merenggut kebahagiaan ibunda serta dirinya. Meninggalkan tanggung jawab nya sebagai seorang kepala keluarga, suami sekaligus ayah bagi keluarga kecilnya.

Arsya ; second lifeWhere stories live. Discover now