Bab 41

228 64 26
                                    

*Melukai orang yang dicintai, seperti sedang memegang dua mata pisau. Satu sisi bisa melukainya dan diri juga ikut terluka oleh sisi yang lain.*

Birendra membuka pintu rumah dengan tergesa. Buru-buru masuk tanpa mengucapkan salam, setelah turun dari taksi online. Setengah berlari ia menyusuri ruangan untuk mencari keberadaan istrinya.

Berbagai macam pikiran berkecamuk, membuat kepalanya berdenyut seperti dihantam palu godam. Badan lelah dan mengantuk karena terjaga semalaman tak ia pedulikan.

Semalam ia masih berada di sebuah rumah sakit di kota Magelang, mengobservasi pasien.

Seorang bayi yang baru berumur dua hari, dibawa ke rumah sakit karena seluruh tubuhnya menguning. Setelah dicek laboratorium ternyata kadar bilirubin dalam darah bayi tersebut terlalu tinggi. Jika dibiarkan akan berdampak buruk pada kesehatan bayi, juga bisa menyebabkan kerusakan otak. Jadi harus dilakukan terapi sinar, untuk menekan kadar bilirubin.

Bayi tersebut keadaannya cenderung membaik setelah dilakukan terapi sinar. Namun ia harus melakukan pengawasan penuh selama tiga hari ini. Sebab bayi tersebut adalah pasien istimewa, putri dari pemegang saham terbesar rumah sakit tempatnya bekerja. Putri pertama dari pasangan pengusaha ternama di Jakarta.

Ibunya memilih melahirkan di Magelang, karena sebuah alasan. Rendra ditelpon untuk segera datang tiga hari yang lalu. Karena ia yang ditunjuk sebagai dokter pribadi oleh orang tua pasien atas rekomendasi sahabatnya, Hadyan.

Jadi dia harus terbang ke Magelang saat itu juga. Walau disana sudah ada dokter anak yang kompeten, tapi orang tua pasien lebih percaya padanya. Sebuah tanggung jawab yang besar karena dipercaya. Bukankah itu sebuah kesempatan yang tidak boleh ia lewatkan? Mendapat kepercayaan sebagai dokter pribadi adalah sebuah kesempatan yang berharga.

Semalam sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan yang membuatnya sesegera mungkin memesan tiket penerbangan pertama hari ini. Meninggalkan tanggung jawab besar yang sedang ia pikul. Pesan singkat yang membuat jantungnya berdegup kencang tak berirama.

[Waktu yang kuminta padamu sudah habis, Bi. Jika pendirianmu tidak berubah, jika kamu tetap ingin pisah.]

[Aku akan pergi besok. Agar kamu tidak perlu menghindar .]

Sejak pulang dari kota tua, sejak ia mengatakan ingin pisah dengan Haira. Hubungannya dengan Haira tak kunjung membaik. Ia menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan. Mengikuti seminar ke luar kota, bahkan luar negeri. Tidak peduli walaupun Haira sedang berusaha memperbaiki hubungan.

Tekadnya untuk berpisah sudah bulat, sejak ia putus asa dengan pengobatan. Sejak ia merasa penyakitnya tak akan sembuh. Ia tidak ingin menjerat Haira dalam hubungan pernikahan yang menyiksa.

Dan ia hampir lupa, kalau waktu sebulan sudah habis. Itu artinya ... ia harus melepas Haira. Meski sebenarnya ia tidak siap dan tidak akan pernah siap kehilangan cinta pertamanya.

Samar-samar ia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah dapur. Membuatnya melangkahkan kaki menuju arah sumber suara.

Dan Ia menemukan Haira disana, sedang memasak bersama Mbak Ti. Haira seperti sedang mengajari Mbak Ti sesuatu.

"Mas Rendra tidak suka masakan yang terlalu manis. Jadi besok kalau masak gulanya dikurangi, ya, Mbak!"

"Setiap pagi buatkan mas Rendra lemon tea, pake gula rendah kalori. Jangan biarkan mas Rendra kebanyakan makan pedes atau gorengan, ya! Takut asam lambungnya kambuh."

Rendra bersandar pada bingkai pintu dapur, memerhatikan semua gerak-gerik istrinya. Dan itu membuat hatinya mencelos. Haira, wanita polos yang tidak banyak berubah sejak pertama kali mereka bertemu. Belum genap satu tahun mereka menikah, tapi Haira sudah sangat hafal apa yang menjadi kebiasaannya.

Menggenggam CintamuWhere stories live. Discover now