Bab 47

282 66 26
                                    

*Bagi orang yang masih menggenggam masa lalu, perasaan setia bertaut. Namun setelah bertemu baru sadar, ternyata semua tak lagi sama.*

Rendra memerhatikan semua yang terjadi di hadapannya dalam gerak lambat, seolah waktu berjalan sangat pelan. Keadaan ramai di sekeliling tak ia hiraukan. Fokus mata hanya tertuju pada sepasang manusia dan seorang bayi mungil dalam buaian.

Ia sampai kesulitan menelan ludah, saat pria kurus dan memakai kacamata menarik kursi. Lalu dengan sangat hati-hati Haira duduk di kursi tersebut. Tak luput dalam penglihatannya, saat Haira menggoyangkan bayi mungil yang hampir menangis. Mungkin terkejut saat Haira duduk.

"Aku tunggu disini, ya, Mas." Ucap Haira dengan suara yang terdengar sangat lembut di telinga Rendra.

Pandangan mata Rendra mengekori langkah kaki pria kurus, sampai sebuah suara memaksanya berpaling. Degup jantungnya berkejaran tanpa irama, saat menyadari senyum Haira mengembang sambil menatapnya.

"Apa kabar, Bi?"

Berkali-kali ia mencoba menelan ludah, berdehem pun sangat sulit ia lakukan. Padahal kerongkongannya terasa sangat kering, dan perlu dibasahi. Sebab suara dan senyum Haira membuat seluruh tubuhnya menggigil. Keringat dingin berkucuran membasahi kemeja yang ia kenakan.

'Perasaan apa ini?' Batinnya. Ia merasa seperti remaja yang baru sedang bertemu mantan pacar saja.

"Duduklah, Bi! Kebetulan kita bertemu disini, bukankah ada yang ingin kamu bicarakan?" Haira menunjuk kursi di depannya dengan dagu, sembari tangannya menepuk-nepuk pelan bayi dalam gendongan agar tetap tenang.

Hadyan berinisiatif berdiri, menepuk bahu Rendra sembari sedikit meremasnya. Sebab Rendra sejak tadi bergeming. Seperti robot yang tidak bisa bergerak karena daya baterainya habis.

Ia tahu Rendra pasti sedang shock dan tidak tahu harus berbuat atau menjawab apa. Otak, hati serta organ tubuhnya pasti sedang tidak bisa dikoneksikan. Kehadiran Haira secara tidak disangka dan mendadak ini pasti membuat Rendra sangat terkejut.

Rendra menoleh, saat Hadyan berbisik, "ask what you want to ask. Say what do you want to say. This is your change, may be only this."

Hadyan mengusap bahu Rendra, "jangan sia-siakan!" seraya memberi kode kepada Chandra agar menjauh. Memberikan ruang kepada Rendra untuk menyelesaikan apa yang belum benar-benar selesai antara dia da

Rendra mengangguk, membiarkan dua sahabatnya pergi.

"Aku yang bayar, nanti aku nyusul," tapi Haira mencegah, "tidak perlu, Bi. Rumah makan ini milik mas Amri, free untuk kalian hari ini."

Tiga orang dokter saling berpandangan. Sejurus kemudian, Rendra mengangguk tanda setuju. Hadyan dan Chandra paham. berterima kasih kepada Haira kemudian berlalu meninggalkan Rendra.

Pandangan Rendra mengikuti langkah Hadyan dan Chandra keluar dari rumah makan. Setelah keduanya tidak terlihat lagi dari jarak pandang, baru ia melangkah, menarik kursi lalu mendudukinya. Menjadi kali pertama setelah berpisah, ia duduk berhadapan dengan Haira.

"Jadi ... pak direktur, sekarang?"

Pertanyaan Haira membuat Rendra tersenyum kecil, "bagaimana kamu tahu?"

"Tadi aku sempat membaca poster di papan pengumuman, saat kita hampir tabrakan ...."

Rendra sontan menegakkan badan, "kamu sudah tahu? Dari tadi?"

Haira tersenyum penuh arti, "tadinya kupikir orang lain, karena kamu pakai masker. Rambut kamu juga lebih panjang, sejak terakhir kita bertemu."

Rendra mengangguk paham. Sedangkan Haira menarik napas panjang seraya menghempaskan punggung pada sandaran kursi. Sebelum ia melanjutkan kalimat, "aku belum lupa bau parfum yang kamu pakai, Bi. Juga nada suaramu ...."

Menggenggam CintamuWhere stories live. Discover now