Bab 21

278 53 10
                                    

Perempuan tidak hanya butuh ungkapan kata, tapi butuh kepastian dan bukti.

Pagi menjelang mengganti malam. Tanda kehidupan mulai terlihat menggeliat mengisi dinginnya pagi subuh. Samar-samar terdengar suara memecah keheningan di sebuah rumah. Suara gemericik air dari kran wetafel, siul teko yang menandakan air didalamnya telah mendidih, hingga suara spatula beradu dengan wajan.

Aktivitas pagi di sebuah rumah yang merupakan kediaman seorang dokter sudah dimulai, namun pria pemilik lesung di salah satu sisi pipinya, masih malas beranjak dari tempat tidurnya. Bukan karena malas baru bangun dari tidur, karena pria itu bahkan sama sekali tidak memejamkan mata semalaman. Ada sesuatu yang mengusik pikiran, hingga Ia malas sekali beranjak untuk melakukan kegiatan seperti biasa.

Kejadian semalam membuatnya tidak bisa tidur, bahkan tidak mempunyai rasa kantuk. Masih jelas dalam ingatannya, saat Haira meneteskan airmata mendengar Ia melamarnya. Bahkan tangis gadis, ralat, janda itu makin menjadi saat tangannya berusaha menghapus airmata di pipi mulus milik Haira. Ia tentu saja tidak tahan untuk tidak bertanya, "Hei, kenapa menangis? Aku sedang melamarmu, Ira! Harusnya Kamu bahagia, dong. Bukan malah nangis."

Haira menunduk bersamaan dengan tangan yang ditarik dari genggamannya. Masih jelas Rendra ingat saat Haira berucap dengan nada bergetar, "kenapa harus Aku, Bi? Kenapa harus Aku? Tidak bisakah Kita hanya berteman saja seperti dulu, Bi?"

Dan Ia harus menjawab penuh keyakinan, "Aku mencintaimu, Ra. Aku ingin Kita lebih dari sekedar teman."

"Aku tidak pantas untukmu, Bi."

"Aku sudah jatuh cinta sejak pertama mengenalmu, Ra. Dan rasa itu tidak berubah sampai sekarang, bahkan bertambah besar." Rendra menarik napas sejenak, "Ra, Kamu adalah jawaban dari setiap doaku."

Rendra bahkan masih ingat sesaat setelah mereka berdua masuk ke dalam cafe setelah berkeliling kota tua, Ia sengaja meminta pihak cafe untuk memutar lagu dari Armada band berjudul 'I Will' untuk menambah kesan romantis saat Ia mengungkapkan isi hatinya. Tapi justru jawaban Haira membuatnya tak bisa berkata-kata lagi, dan alhasil tidak bisa tidur semalaman.

"Maaf, Bi. Aku tidak bisa menerimanya, Kamu berhak mendapatkan gadis yang lebih baik dariku. Biarlah Aku mencintaimu tanpa berharap memilikimu, karena Kamu diluar jangkauanku, Bi."

Senandung lagu milik Armada band berjudul 'I Will' yang masih terdengar justru membuat hatinya teriris. Haira sangat merasa rendah diri, hingga tidak bisa menerima lamarannya begitu saja, padahal Ia tahu Haira dan dirinya sama-sama saling mencintai. Sejak dulu rasa itu sudah ada, makin besar ketika mereka bertemu lagi setelah dewasa.

Sayang menikahlah denganku, Kau jawaban dari semua doaku

Kau cinta sejati yang telah lama kutunggu

And I will always loving you

(Armada band, I will)

Dan kini, Ia hanya bisa memandang kotak berbahan bludru warna merah yang terletak di nakas, tepat di depan foto kenangan saat pelepasan siswa sekolahnya 10 tahun yang lalu. Foto bersama teman satu sekolahnya, pastinya ada Haira disana.

Cincin yang semalam seharusnya telah tersemat dijari manis Haira, masih tersimpan rapi didalam kotak, karena Haira menolaknya.

***

"dokter Attariz ambil cuti, katanya mau nikah. Dia bukannya seangkatan sama Kamu kuliahnya, ya, Re?" Iswandi bertanya disela menikmati sarapan bersama istri dan anak sulungnya.

"Iya, Pa." Jawab Rendra malas. Ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan papanya setelah ini.

"Jadi seangkatan Kamu hanya tinggal Kamu dan Hadyan yang belum nikah, dong?" Kali ini Mamanya yang bertanya.

Menggenggam CintamuWhere stories live. Discover now