Bab 20

342 60 8
                                    

*Jika boleh berharap, inginku atas kehadiranmu adalah untuk menetap bukan sekedar bias menatap.*

Sudah hari kelima, sejak Rendra berpamitan kepadanya untuk mengikuti diklat di Semarang. Selama itu pula Rendra tidak pernah menghubungi Haira. Haira juga enggan menghubungi Rendra. Ia memerlukan ruang untuk menepi, sekedar untuk memastikan rasa dan menetapkan hati. Bagaimana sebenarnya perasaannya pada seorang Birendra Iswandi.

Jika dulu hubungan mereka hanya sebatas teman tapi saling memberi perhatian, maka kini setelah tahun-tahun berlalu, akankah masih sama? Mengingat keadaan mereka telah jauh berbeda. Rendra dengan segala kesuksesannya, sedangkan Haira dengan kegagalan yang membuatnya malu dan takut untuk melangkah.

Ia memang tidak lantas menjadi trauma untuk memulai sebuah hubungan dengan seorang pria. Tapi bukan berarti akan secepat ini melabuhkan hatinya bukan? Walaupun sudah kenal dengan Rendra sejak lama, walaupun pria itu sudah sering menyatakan cinta, namun Haira masih ragu. Akankah mereka bisa bahagia? Akankah luka masa lalu bisa sembuh dengan kehadiran Rendra? Karena tanpa Ia sadari hati kecilnya sudah merasa nyaman jika Ia sedang bersama dengan Rendra.

"Ira!" Sebuah panggilan membuyarkan lamunannya. Ia dari tadi memang sedang duduk di di karpet dengan menyandarkan kepala pada tangan, sikunya bertumpu pada sisi sofa. Sedangkan televisi menyala, tapi tidak benar-benar Ia tonton.

"Iya, Mas ," Jawab Haira sedikit tergagap karena terkejut. Ia segera menegakkan posisi duduk, karena Harsya sudah duduk disampingnya.

"Beberapa hari ini Mas lihat Kamu sering melamun, ada apa? Apa yang sedang Kamu pikirkan? Linda bilang, Kamu juga sering tidur larut. Nggak ada masalah di toko, kan?" Harsya tidak tahan melihat adiknya murung beberapa hari ini. Setelah masalah perceraian dengan Rafi yang sempat pelik, harusnya Haira sekarang lega dan bahagia, bukan? Karena semuanya telah selesai, seperti yang Haira harapkan. Tapi beberapa hari ini justru Haira tampak murung.

"Bukan masalah toko, Mas." Jawab Haira singkat.

Harsya harus menghela napas panjang, tidak mudah berbicara dari hati ke hati dengan Haira. Adiknya ini sejak kecil memang suka memendam apapun seorang diri. Jarang bercerita kepada orang lain, selain almarhum Ibunya. Namun Ia tetap harus mencari tahu apa yang sedang terjadi pada adik satu-satunya itu.

"Kalau Kamu nggak nyaman cerita sama Mas, Kamu bisa cerita sama Linda. Jangan dipendam sendiri." Harsya coba membujuk.

"Ira nggak pa-pa, kok, Mas."

"Kamu itu adik Mas satu-satunya, Mas sayang sama Kamu. Masalahmu, masalah Mas juga, Ra." Harsya mengelus kepala Haira dengan sayang. Saat itulah Linda datang, langsung mengambil tempat duduk di sisi Haira, "Mas mu benar, Ra. Kita ini keluarga, Kamu bisa cerita apapun sama Kami. Mbak juga nggak segan, kan, cerita sama Kamu kalau Mbak lagi kesel sama Mas mu."

"Oh! Jadi gitu, ya? Kalian sering ngomongin Aku di belakang? Kalian-" Harsya tidak melanjutkan kalimatnya, karena Haira dan Linda terbahak. Membuatnya mengurungkan niat untuk protes, demi melihat tawa adiknya yang beberapa hari ini tidak Ia lihat.

"Gitu, dong. Ketawa gini, kan, cantik. Adik kesayanganku jangan murung, nanti jadi jauh jodohnya." Harsya kembali mengelus kepala Haira membuat Linda mencibir, "Jadi kalau Aku yang murung boleh, ya, Mas?"

"Boleh! Nanti uang belanjamu Aku kurangin, biar murungnya lebih lama. Lumayan bias buat beli rokok." Jawab Harsya mencoba bercanda.

"Dih! Mana ada orang murung malah uang belanjanya dikurangin? Harusnya ditambah, dong. Biar murungnya ilang, gimana, sih, Mas?" Linda berlagak merajuk. Melihat kakak dan kakak iparnya berdebat hal sepele, Haira terus saja tertawa. Bahkan sampai menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Menggenggam CintamuWhere stories live. Discover now