03. Aneh

13.1K 2.3K 189
                                    

Mai bersedih selama seharian sejak dibentak oleh Axel di belakang sekolah. Dia masih tidak bisa menghapus teriakan lelaki itu dari kepalanya. Suaranya keras dan menyakitkan. Hatinya pun ikut sakit— selama ini tidak ada yang membentaknya sampai seperti itu. Dia terus menggerutu tentang Axel, merasa kalau teman sekelasnya itu sangat aneh dan jahat, pantas saja tidak memiliki teman.

Sesuai dengan ucapan teman-teman sekelasnya, Axel tidak berniat untuk berteman di sekolah ini. Namanya langsung terkenal di seluruh sekolah sebagai murid baru yang sombong. Meskipun begitu, tidak ada yang berani mengganggunya, sekalipun itu adalah kakak kelas.

Postur tubuh Axel memang bagus, mana mungkin dijadikan lawan hajar, dan itu memaksa laki-laki lain mundur pelan-pelan. Belum lagi, aura yang dia tunjukkan selalu saja suram, tatapan mata pun tajam, lebih menusuk ketimbang sorot mata guru konseling yang murka.

Hari ini Mai tiba di sekolah cukup pagi. Ayahnya sengaja mengantar lebih awal karena di kepolisian sedang ada banyak hal yang harus dikerjakan. Makin lama kasus penculikan dan serangan binatang buas semakin sering terjadi.

Suasana halaman depan sekolah ini masih sepi, hanya ada beberapa murid yang duduk di di bangku taman. Mai memperhatikan sekitar saat berjalan memasuki area gedung. Dia masih penasaran, apakah Axel masuk hari ini? Apakah dia akan menggambar seharian lagi seperti biasa? Lalu menuju ke hutan belakang sekolah yang misterius?

Karena melamun, dia tidak sadar kalau ada teriakan dari balkon lantai dua. Lantai dua gedung sekolah ini hanya dihuni oleh murid tahun pertama saja. Dan, di atas pagar balkon itu terdapat banyak sekali pot-pot bunga yang terbuat dari tanah liat dan batuan sungai. Ada beberapa murid yang tampaknya terpeleset bersamaan dan menabrak deretan pot-pot tersebut— lalu membuatnya jatuh ke bawah— dimana secara kebetulan sekali sedang ada Mai.

“Awas Kak!”jerit salah seorang gadis yang ada di balkon. Dia menahan agar pot-pot lain tidak ikut jatuh.

Satu pot yang terbuat dari tanah liat dengan diameter sekitar dua puluh sentimeter meluncur ke atas kepala Mai.

Mai spontan berlari maju, alhasil pot tersebut jatuh ke tanah dan hancur. Suaranya cukup keras sampai membuat orang+orang sekitar menoleh. Namun karena panik, Mai terjungkal dan jatuh ke lantai. Kaki kirinya langsung keseleo, dan itu membuat rasa nyeri di betisnya kembali kambuh. Obat pereda nyerinya seakan hilang seketika.

“Ah.” Mai meringis kesakitan sembari membelai betisnya yang masih diperban. Ketika dia hendak berdiri, ada tangan terulur di depannya. Dia mendongak, langsung terkejut saat melihat sosok Axel sudah ada di depan mata, padahal dia yakin tadi tidak ada siapapun.

Mimik wajah Axel terlihat tegang, tidak biasanya. Merasa Mai tidak merespon uluran tangannya, dia membungkuk lalu menggendongnya tanpa banyak bicara. Caranya menggendong pun dengan bridal style, yang sudah pasti membuat Mai ketakutan bukan main. Baru pertama kalinya dia digendong oleh laki-laki dengan cara seperti ini.

“Axel, apaan ini, ngapain gendong segala?” Mai bingung saat tubuhnya sudah diangkat oleh Axel. Dia heran, bukankah lelaki ini yang enggan dekat-dekat dengannya karena bau? Namun kenapa sekarang mereka sampai begitu dekat?

Axel sama sekali tidak menjawab omelan Mai, dia bahkan tidak melihatnya sama sekali. Hanya saja, dia sedang menahan napas sekuat mungkin. Wajahnya tidak nyaman, amat menderita karena bau dari Mai yang terlalu menyengat.

“Axel! Turunin, gak apa-apa, gak usah gendong segala—”

Masih tidak ada balasan dari mulut Axel.

Seorang pria paruh baya, salah satu guru, yang mengetahui kejadian pot jatuh itu tampak berlari menghampiri mereka seraya mengatakan, “syukurlah, Mai gak apa-apa? Cepat kamu bawa ke ruang ksesehatan ya, Axel. Biar bapak urus itu yang ada di depan sama atas.

Pagi-pagi udah bikin gaduh!”

Pria ini tampaknya sudah dibuat murka dengan peristiwa berbahaya seperti ini. Dia yakin pot di atas balkoni sudah dilengkapi pengaman, jadi kemungkinan besar para murid yang berbuat ulah keterlaluan.

Axel kembali berjalan menuju ke ruang kesehatan. Mai diam saja sampai mereka tiba di sana. Axel menggunakan punggungnya untuk membuka pintu dorong ruangan tersebut, kemudian membawa masuk Mai, dan dengan lembutnya dia mendudukkan gadis itu di atas ranjang yang tersedia.

Ruang kesehatan ini sempit hanya ada satu ranjang, satu meja-kursi yang biasanya terdapat guru jaga. Tapi, hari ini belum ada yang menjaga— karena memang masih terlalu pagi.

Tanpa banyak berkata-kata, Axel mengusap-usap hidungnya, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Lagi-lagi mimik wajahnya terlihat sendu, seolah-olah dia menyesali sesuatu. Ada yang mengganggu pikiran dan hatinya sekarang.

“Bentar,, Axel—” Mai menghentikan langkah Axel yang sudah membuka pintu. Dia berniat untuk turun, tapi mendadak rasa nyeri dari betis kiri kembali datang dan menjalar sampai ke paha. Sontak saja dia membelai perbannya. “Ah!”

“Mai?” Axel langsung berbalik, dan berlari menghampirinya tanpa sadar. Iya, dia seolah mendapat panggilan untuk datang saat mendengar Mai merasakan sakit. Itu seperti sudah naluri yang sebelumnya tak pernah dia rasakan.

Mai terperanjat.

“Mana yang sakit?” Tanpa malu, Axel bertanya hal semacam itu. Pandangannya pun fokus ke perban di betis kiri Mai. Dia sampai menunduk dan mengangkat kaki kiri Mai, lalu menyentuh bagian perbannya. “Mana obatmu? Kamu bawa anti nyeri?”

“Eh—” Mai merasa seperti melihat sosok yang berbeda. Kemarin-kemarin, lelaki ini sangat sombong, bahkan sampai membentaknya, tapi kenapa mendadak menjadi baik dan lembut. Perlakuan Axel yang tidak wajar sebagai teman ini membuat wajah gadis ini memerah. Bibirnya terkatup rapat karena malu.

“Kenapa malah diam?” Axel melepaskan kaki Mai dengan kening mengerut. Dia kembali menjadi dingin lagi karena mengira Mai mempermainkannya. “Kamu ngerjain aku, ya?”

“Itu ... gak apa-apa kok.” Mai meneguk ludah, berusaha senormal mungkin. Dia tidak mau membuat Axel membentaknya lagi. Iya, luka yang kemarin saja masih membekas. “Gak terlalu sakit, nanti minum obat lagi.”

“Jangan bikin orang khawatir gitu.”

“Eh ... iya Makasih, ya.” Mai sampai menelan ludah, merasa kalau orang yang dia ajak bicara ini sudah berubah dalam waktu sekejap. Aneh.

Axel tidak menjawab. Dia hanya berbalik dan berjalan pergi. Tapi, dia kembali tidak nyaman, terpaksa dia berhenti tepat di pintu keluar, lalu menoleh pada Mai.

“Untuk yang kemarin, maaf, tolong jangan sedih—” katanya dengan tertunduk lesu, sama sekali tidak ingin melihat Mai. “Aku jadi ikutan ... sedih.”

Hah?, Mai tidak bisa berkata apapun terhadap perkataan yang aneh, namun manis barusan.

Axel menambahkan, “Nanti aku balas orang yang buat pot-pot tadi jatuh, jadi ... Jangan sedih juga.”

Mai makin penasaran apa yang membuat Axel berubah dari sosok dingin ke sosok yang perhatian. Kenapa pula lelaki itu peduli dirinya sedih atau tidak? Belum sempat dia merespon apapun, Axel sudah berjalan keluar.

“Kenapa dia? Keracunan?” herannya.

***

KELABU (Werewolf Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang