02 : Ice Cream & Drug

84 14 31
                                    

"Yuri-ssi, ingin pulang denganku?"

Menyadari bahwa Jimin menghampiri mejanya membuat Yuri menengok kearah Jimin yang sudah menggandeng ransel hitamnya sebelah pihak. Wajah yang terlihat lelah namun tetap tampan, ditambah dengan rambut hitam pekat dan juga pipi gembul nya membuat Yuri seketika terdiam melihat penampilan Jimin.

"Hei ada apa? Ada yang salah denganku?"

Yuri menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis, "Tidak, kau sempurna."

Jimin terkekeh lalu mengambil ransel milik Yuri, "Tidak ada manusia yang sempurna, Yuri-ssi. Semua manusia memiliki kekurangan, hanya Tuhan yang sempurna. Seharusnya yang kau puji sempurna adalah Tuhan, bukannya aku."

Perkataan Jimin ada benarnya, semua manusia tidak diciptakan sempurna. Yang sempurna hanyalah Tuhan, tidak ada manusia yang bisa menyaingi kesempurnaan Tuhan.

Dengan menggandeng dua buah ransel, Jimin mulai melangkahkan kakinya keluar kelas. Diikuti Yuri di belakangnya yang kini sudah berjalan beriringan dengannya.

"Tapi kau memang sempurna Jim, kau tidak hanya sempurna. Tapi kau juga menyempurnakan hidupku."

Jimin kembali terkekeh mendengar celotehan sang kekasih yang semakin hari semakin manis padanya, ia sempat bingung. Darimana kekasihnya itu mendapatkan kata-kata manis seperti itu?

"Benarkah? Sesempurna itu aku di matamu, hm?" Jimin menatap wajah yang kini tengah berada di sampingnya dengan senyuman yang merekah.

"Bus sebentar lagi datang, ayo cepat!" Ucap Yuri yang kemudian berlari kearah halte bus, meninggalkan Jimin yang masih berjalan santai.

Untuk sekarang Jimin merasa hidupnya benar-benar dipenuhi kebahagiaan, ia merasa sangat beruntung di kelilingi orang-orang baik hati di sekitarnya. Mulai dari para sahabatnya, adiknya, hingga kekasihnya.

Tapi satu hal yang Jimin sayangkan, orangtuanya tidaklah lagi bisa berada di sampingnya. Kini orangtuanya hanya bisa melihat Jimin dari kejauhan, terkadang Jimin marah pada takdirnya sendiri. Kenapa Tuhan mengambil orangtuanya secepat itu?

Dan kenapa juga disaat ada orang yang datang, harus ada orang yang pergi?

---oOo---

"Menurut mu hari ini lebih baik aku makan ice cream vanilla atau ice cream strawberry?" Tanya Yuri pada Jimin.

"Tidak keduanya."

"Ayolah Park Jimin, aku serius. Kalau begitu untuk apa kita kemari?" Yuri terus-menerus menanyai Jimin soal rasa ice cream yang ingin di pesan, gadis itu hanya ingin meminta saran dari Jimin, tapi laki-laki itu hanya menjawab dengan kalimat 'tidak'.

Setelah turun dari bus, keduanya singgah sejenak di sebuah kedai ice cream yang sering mereka kunjungi saat pulang sekolah. Diantara mereka berdua hanya Yuri yang suka memakan ice cream, sementara Jimin tidak. Bukannya Jimin ingin menolak, hanya saja ice cream tidak baik untuk kesehatannya.

"Kau harus mencoba rasa lain, Yuri-ssi."

Mendengar perkataan Jimin membuat Yuri kembali berucap. "Benarkah? Tapi kenapa? Ada apa dengan vanilla dan strawberry?

"Tidak ada, hanya saja bukankah kau juga harus mencoba rasa lain? Cokelat misalnya."

"Kenapa harus cokelat?" Tanya Yuri kembali. Sungguh, Jimin sepertinya ingin sekali menguji kemampuan otaknya.

"Kau tahu bukan? Sebenarnya aku ini menyukai cokelat, tapi saat aku memakannya itu membuatku tersiksa. Kau juga harus coba rasa cokelat, itu enak."

"Lalu, apa alasanmu menyukai rasa cokelat?"

Jimin tersenyum lebar, rupanya kekasihnya ini tidak tahu begitu manisnya rasa yang ditimbulkan oleh cokelat. "Karena cokelat itu manis, seperti dirimu. Bahkan tanpa memakannya pun aku bisa diabetes karena melihat senyummu itu."

Semenjak Jimin mengucapkan kalimat itu, pipi Yuri seketika merona dibuatnya. Yuri lantas mencubit pelan lengan Jimin, "Yak kau, jangan buat aku terbang disini." Katanya sambil berbisik.

"Terbang saja, lagipula tidak ada yang akan melihatmu dengan tatapan aneh."

"Tetap saja Park Jimin!" Cubitan yang Yuri berikan kini semakin keras, Jimin bahkan sampai berteriak kesakitan. Membuat orang-orang di sekitar mengalihkan pandangannya kearah kedua sejoli itu.

"Sialan Park Jimin! Kau buat aku malu..."

Detik selanjutnya Yuri berjalan meninggalkan kedai ice cream dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Ia memang sangat tidak suka jika harus menjadi pusat perhatian semua orang, baginya itu sangatlah menyebalkan.

Sementara Jimin hanya tertawa melihat tingkah kekasihnya, untuk kesekian kalinya ia berhasil membuat Yuri lagi-lagi pergi meninggalkannya dengan wajah yang tersipu malu.

"Paman tolong pesan satu porsi ice cream vanilla ya." Walaupun ditinggal Yuri, Jimin tetap saja memesankan ice cream dengan rasa favorit Yuri. Gadis itu memang menyukai ice cream dengan rasa vanilla. Sementara Jimin lebih menyukai sesuatu yang berbau cokelat. Tapi sangat disayangkan dirinya tidak bisa mengonsumsi itu, kalau ia nekat bisa saja nyawanya terancam.

Setelah mendapatkan pesanannya Jimin lalu memberikan sejumlah uang guna membayar, selanjutnya ia juga mulai keluar dari kedai ice cream tersebut. Dengan memegang satu cone ice cream vanilla di tangannya, Jimin berjalan santai menghampiri Yuri yang kini sudah duduk di salah satu kursi dekat taman.

Jimin mendudukkan dirinya di kursi taman, di sebelahnya ada Yuri yang tengah sibuk memainkan ponsel.

"Yuri-ssi, ini pesananmu." Jimin memberikan cone ice cream yang ia pegang pada Yuri, dan dengan senang hati Yuri menerimanya. Karena ice cream vanilla adalah favoritnya.

"Terimakasih, Jimin."

Jimin mengangguk tersenyum, kemudian membuka ranselnya dan mengeluarkan sebotol air mineral dengan sebuah botol kecil yang berisikan obat di dalamnya. Obat yang selama ini ia konsumsi.

Obat untuk meredakan rasa sakit pada bagian dada.

"Dadamu sakit lagi, Jim?" Yuri yang jelas melihatnya sedikit khawatir, pasalnya Jimin terus memegangi dada sebelah kirinya.

"Hanya sedikit."

Dengan cepat Yuri membuang ice cream yang belum sempat ia habiskan, ia mengambil botol obat milik Jimin kemudian membuka penutup botol air mineral. Yuri juga Mengambil sebutir obat dan air mineral tersebut kemudian memberikannya pada Jimin untuk Jimin minum.

Senyum simpul menghiasi wajah Jimin, setelah rasa sakit di bagian dadanya reda, ia kembali berucap. "Maaf, ice cream punyamu jadi harus terbuang sia-sia."

"Tidak apa, yang terpenting adalah kesehatanmu."

"Terimakasih Yuri-ssi, lain kali akan ku belikan kedai ice cream itu untukmu agar kau bisa makan ice cream sepuas yang kau mau."

Tawa Yuri pecah seketika, kekasihnya itu disaat seperti ini masih saja bisa bergurau. "Hahaha, apa akan baik-baik saja kalau setiap hari aku makan ice cream? Aku khawatir dengan kesehatanku nantinya."

"Tentu tidak, senyum manismu selalu menghiasi wajahmu. Seharusnya aku yang kau khawatirkan, bisa-bisa aku diabetes setiap kali melihatmu."

Kembali Yuri tertawa mendengar perkataan Jimin, kali ini tawanya bahkan bisa dibilang lebih kencang. Jimin sendiri hanya bisa tersenyum sampai kedua matanya tenggelam. Benar-benar lucu.

---oOo---

To be continued...

My Sunshine EuphoriaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon