03 : Taehyung's Offer

81 14 27
                                    

Ransel yang semula berada di pundaknya kini dilempar begitu saja oleh Jimin kearah tempat tidurnya, ia lalu merebahkan tubuhnya di kasur tanpa mau mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Bahkan sepatunya pun masih setia terpasang di kedua kakinya.

Langit-langit kamarnya yang kosong menjadi pusat pandangan Jimin saat ini. "Ibu, Ayah. Aku merindukan kalian, bagaimana rasanya di surga? Ibu, Jimin ingin bertemu dengan kalian berdua, Jimin ingin secepatnya menghilangkan rasa sakit ini. Dulu Ayah selalu saja cerewet padaku karena aku yang susah sekali minum obat, tapi sekarang? Aku bahkan sering menyiksa diriku sendiri dengan cara mengabaikan rasa sakit itu."

Jimin meraih ranselnya, membukanya kemudian mengambil botol kecil berisi obat. Obat yang selama ini menjadi musuhnya.

"Kapan aku akan berhenti meminum ini?" Lirih Jimin sambil memegangi botol obat miliknya.

Jika boleh jujur, Jimin tidak menyukai rasa obat. Jimin benci rumah sakit, dan Jimin benci obat. Tapi takdirnya yang mengharuskan dirinya untuk merasakan sesuatu yang tidak ia sukai. Apa boleh Jimin membenci dirinya sendiri? Kenapa takdirnya harus seperti ini? Dan, apa bisa Jimin merubah semua takdirnya?

Air mata mulai keluar dari kelopak mata milik Jimin, rasanya Jimin ingin menangis saja sepanjang hidupnya. Ia tidak tahu harus bagaimana nantinya, saat tiba-tiba saja semua yang ia lihat menjadi hitam, saat nafasnya tidak lagi mengeluarkan helaan, saat jiwanya terlepas dari raganya, saat ia harus melepaskan semua tanggung jawabnya pada adiknya, dan saat itu juga ia harus kehilangan penglihatan pada semua orang yang ia sayangi.

Jimin bingung dengan semua itu, ia tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin mengelak dari itu semua, tapi Tuhan tidak mengizinkannya untuk menghindar bahkan lari dari kenyataan.

"Ibu, Jimin boleh pergi? Ayah, Jimin boleh ikut Ayah? Jimin lelah dengan rasa sakit ini, tapi bagaimana dengan Jihoon? Ayah, Ibu, kenapa Tuhan mengambil kalian? Kenapa tidak Jimin saja?"

Bersamaan dengan tangis Jimin yang mulai terdengar, tiba-tiba saja kenop pintu kamarnya ada yang membuka. Tak ingin ketahuan sedang menangis, dengan cepat Jimin menghapus air mata yang sempat membasahi pipinya.

Ceklek.

"Hyung?" Pintu kamarnya terbuka, menampilkan Jihoon yang tengah mengintip dengan hanya kepalanya saja yang berhasil masuk. Melihat sang adik yang datang berkunjung ke kamarnya, membuat Jimin merubah posisinya menjadi duduk.

"Masuklah, jangan seperti pencuri."

Jihoon menganggukkan kepalanya perlahan, lalu mulai memasuki kamar Jimin. "Ada apa?" Tanya Jimin selanjutnya.

"Eum... Hyung, aku boleh pinjam salah satu jaket hitam milikmu? Punyaku kotor, jadi tadi pagi Bibi Song mencucinya."

"Untuk apa? Memangnya kau mau kemana?" Tanya Jimin lagi. Karena tidak mungkin juga Jihoon memakai jaket saat berada di dalam rumah.

"Pergi kencan, ya tidaklah! Aku mau pergi main kerumah Daniel."

Bukannya memberikan jaket miliknya, Jimin malah melempari Jihoon dengan bantal. "Yak, lebih baik kau belajar. Bukannya ujian mu sudah dekat? Ingat Jihoon, kau ini kelas akhir. Bagaimana kau akan masuk kelas 10 nantinya?"

Yang perlu kalian tahu adalah perbandingan usia Jimin dan juga Jihoon yang hanya berbeda dua tahun. Tapi melihat tingkah laku Jihoon, membuat Jimin rasanya seperti mengurus bocah yang duduk di bangku sekolah dasar. Padahal umur Jihoon saat ini sudah menginjak 15 tahun.

"Haish, ujian kan masih beberapa bulan lagi. Lagipula kau tenang saja, kalau waktunya sudah dekat aku akan rajin belajar."

"Dasar! Yasudah sana ambil, tapi awas saja kalau kau sampai membuat lemari ku berantakan!"

My Sunshine EuphoriaWhere stories live. Discover now