Bagian 18 : Panti Asuhan

6.7K 783 6
                                    

Seperti yang direncanakan Salena jika pulang ke Jakarta, maka Salena akan berkunjung ke panti asuhan tempatnya tumbuh dan dirawat di tempat tersebut.

Salena berada di sana sejak berusia dua bulan. Masih sangat kecil. Itulah kata Bunda, pemilik panti asuhan tersebut yang telah meninggal saat ia baru masuk SMA. Membuatnya merasakan kehilangan sosok orang tua. Yang pada akhirnya membuatnya memilih untuk nge-kos dan mencari pekerjaan.

Bekerja di rumah makan Padang. Menjadi pelayan untuk membayar sewa kos serta makan. Untuk sekolah sendiri, ia mendapat beasiswa karena tidak mampu.

Keluar dari panti asuhan karena merasa menjadi beban di sana, apalagi banyaknya adik-adik di sana yang lebih butuh, daripada dirinya yang telah besar.

Tidak adanya orang tua yang mengadopsi dirinya membuat Salena selalu berkecil hati dan tidak pernah lagi memiliki harapan jika nantinya ada orang tua yang mengadopsinya.

Mungkin karena dulunya Salena memiliki kulit yang kering dan sangat kurus sehingga dikira bayi busung lapar. Seiring berjalannya waktu ketika ia telah beranjak tumbuh, para orang tua yang ingin mengadopsi anak pun tidak meliriknya. Mungkin karena ia telah besar, karena jarang ada orang tua yang ingin mengadopsi anak yang telah besar.

Meski telah keluar dari panti asuhan, tapi Salena tetap sesekali mengirim uang jika ia ada kelebihan. Dan sekarang berkunjung ke tempat tersebut.

Membeli keperluan bahan dapur serta cemilan dan kue untuk para anak di sana.

Ikut tersenyum melihat adik-adiknya terlihat begitu bahagia.

Salena pernah merasakan hal tersebut. Meski hanya sebungkus ciki, tapi tetap membuatnya bahagia luar biasa. Bukan karena pemberian tersebut, melainkan Salena merasakan begitu diperhatikan.

Salena langsung memeriksa ponselnya saat berdering. Nama Rasya tertera di layar membuatnya pamit untuk keluar lebih dulu karena di dalam sana ribut akibat suara anak-anak.

"Ya, halo Mas?" Salena terdiam sejenak mendengar Rasya berbicara lalu ia kembali bicara. "Iya. Saya ada di panti. Ya?"

"Masih lama sih. Rencana mau sampai malam. Mau nginap di sini." Kembali Salena terdiam mendengarkan Rasya. "Minggu depan baru balik ke Bali."

"Oke Mas. Hati-hati di jalan." Setelahnya Salena memutus panggilan lalu terdiam menatap layar ponselnya.

Mereka tidak seperti mantan suami istri pada umumnya.

Apakah terdengar aneh jika ia masih akrab dengan mantan suaminya?

***

Suara klakson motor terdengar membuat Salena segera pamit pada Ibu serta adik-adiknya. Keluar dari sana.

Tersenyum pada Viora yang menyengir.

"Motor siapa, Vi?" tanya Salena seraya menerima helm dari Viora lalu memakainya.

"Motornya Nina. Buruan naik. Si Odit neror gue mulu, 'Kapan ke rumah gue?'" Salena tertawa segera naik ke belakang.

Viora melajukan motor tersebut. Dengan kecepatan tinggi membuat Salena memeluk kencang pinggang temannya itu.

Hingga mereka tiba di sebuah perumahan elit.

Seringkali Viora ke sana membuatnya dibiarkan masuk begitu saja oleh security depan kompleks. Hanya menyalakan klakson pada petugas keamanan yang dibalas dengan anggukan pelan.

Tiba di salah satu rumah berwarna serba putih yang tidak memiliki pagar membuat Viora dengan leluasa memarkir motor di pekarangan rumah tersebut.

Salena turun dari motor seraya melepas helm. Bisa dipastikan jika Nasha yang dibonceng Viora, sudah pasti wanita cerewet itu tidak hentinya mengomel.

"Salena!" Seruan tersebut membuat Salena tersenyum. Segera menghambur ke arah Odit yang keluar dari rumah.

"Eh ada makanan, gak? Gue laper nih." Viora menyerobot masuk. Lebih dulu dari tuan rumah.

"Ada. Gue baru aja selesai masak."

Viora langsung mengurungkan niatnya melangkah ke dapur. Ia menatap Odit yang tersenyum lebar.

"Lo masak, Dit?" tanya Salena. Tercengang mendengar perkataan temannya yang ia kenal pemalas tersebut. Bahkan masak mie saja Odit tidak tau caranya.

"Ogah ah gue makan masakan lo. Nanti malah berakhir gue diare!"

Odit menekuk wajahnya kesal mendengar perkataan Viora. Ia beralih menatap Salena. "Cobain masakan gue ya, Len?"

Segera menarik tangan Salena menuju ke meja makan. Sedangkan Viora sedang menjelajah. Membuka lemari berisi tempat cemilan Odit.

"Sejak kapan lo belajar masak, Dit?" tanya Salena pada Odit.

"Sejak gue pindah ke sini. Karena nyokap gue sering nyindir gue nanti gue bikin cucunya mati kelaparan kalau gue gak bisa masak. Cobain Len. Enak kok. Gue tadi udah coba."

"Itu apa?" tanya Viora bergabung di meja makan di pelukan Viora telah terdapat beberapa cemilan serta satu kaleng minuman dingin. Mengendikkan dagu ke arah piring. Hasil masakan Odit.

"Ayam goreng bawang putih pedas manis! Gue liat tutorialnya di youtube. Enak kok Vi. Lo harus cobain. Gak kayak seblak buatan gue waktu itu kok, ini..." Perkataan Odit berhenti saat Salena tersedak lalu terbatuk-batuk membuatnya panik dan segera memberikan air minum untuk temannya tersebut.

Viora tertawa, apalagi saat mendengar perkataan Salena tentang masakan Odit.

"Maaf Dit, bukannya gue gak ngehargain masakan lo. Tapi, bawang putihnya banyak banget, terus keasinan dan kemanisan." Salena meringis tidak enak melihat tampang lesuh Odit.

"Dahlah Dit. Walaupun lo gak bisa masak. Ares tetep mau ko sama lo!" Goda Viora membuat Odit semakin kesal. Kali ini Salena tersenyum.

"Oh shut up!"

***

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
27/07/21

Bittersweet DivorceWhere stories live. Discover now