🖇*ೃ˚[20]༘ 🖇

172 20 36
                                    

“I’m sorry …

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

I’m sorry ….” cicit Clairine setelah ia mendengar semuanya dengan jelas, dari cowo yang selalu mengekorinya kemana-mana itu. Respon yang diberikan Erland hanyalah sebuah senyum yang sangat tipis dan mereka berdua tahu bahwa dia hanya berusaha untuk terlihat baik-baik saja sekarang.

“Gua ke kelas dulu ya. Bye.” ujar Clairine setelah mereka berdua hanya ditemani dengan keheningan. Juga, Clairine merasakan bahwa Erland sedang membutuhkan waktu sendirian untuk sekarang. Tapi, yang dipikirkannya ternyata salah.

“Kalau lu gua minta untuk temenin gua di sini, lo mau gak? Kalo gak mau, gak apa-apa kok.” pinta Erland, namun ia tak berani untuk melihat Clairine dengan sepasang matanya. Ia takut kalau-kalau permintaannya itu ditolak, yang tentunya tak akan terjadi. Karena gadis gembul itu langsung mendudukkan bokongnya, tepat di samping Erland. Saat itu, ia benar-benar lupa dan tak peduli dengan rasa insecure-nya itu, semua pikirannya hanya terfokus untuk menemani Erland sampai ia merasa baik-baik saja. 

“Setidaknya, ini yang bisa gua lakuin ke lu, kan?” tanya Clairine dengan senyum jahil di wajahnya, yang bermaksud untuk mencairkan suasana. Ternyata benar saja, karena setelah itu dia bisa melihat sebuah pemandangan yang sangat indah, tepat di depan matanya. Senyuman merekah milik Erland yang baru pertama kali ia lihat, membuat dia langsung terpesona. Sedetik kemudian, perasaan terkagum-kagumnya itu tergantikan dengan rasa gugup dan bingung karena dia bisa merasakan tangan Erland mendarat di pipinya untuk kedua kalinya.

“Lu mirip banget kaya dia kalau misalnya lu ngelakuin itu.” gumam Erland, yang masih dengan tenangnya membiarkan tangannya merasakan pipi tembam Clairine. Cowo tampan itu bahkan tidak tahu bahwa apa yang baru saja dia lakukan membuat jantung Clairine berdetak tiga kali lebih cepat sebagai efek sampingnya. Dengan cepat, Clairine tersadar dan langsung menepis tangan Erland membuat sang empunya sampai terjungkal dari posisi duduk silangnya.

“Eh! Lu gak apa-apa?! Gak sakit kan? Aduh aduh … gua minta maap ya.” gagap Clairine sembari ia menarik kembali Erland yang sempat tersungkur. Setelah ia kembali ke posisi awalnya, dia malah memandangi Clairine, seakan-akan ia meminta penjelasan atas apa yang baru saja terjadi. Namun, Clairine malah enggan untuk membuka mulutnya.

“Ehm … sebetulnya … ehm ….” sembari ia bergumam itu, Erland menganggukkan kepalanya, dengan harapan Clairine memberi tahu atas alasan apa dia menangkis tangan Erland dengan sangat keras.

“Hah ... gua sekarang udah ngerti kenapa lu ngelakuin semua hal itu. Tapi perlu lu inget kalau misalnya gua ini Clairine, bukan Gabriella—adik yang lu kenal itu— gua sama dia berbeda, Erland. Walaupun kami memiliki permasalahan yang sama, kami itu tetap dua orang yang  berbeda dan yang pasti, gua itu bukan orang yang seharusnya lu peduliin. Jadi, gua harap lu berhenti untuk ngekorin gua kemana-mana seakan-akan gua itu orang yang lu peduliin atau lu sayangi, Erland.” dengan mengatakan itu, Clairine berharap dia bisa langsung memutus kontak dengan Erland.

“Kalau lu salah satu orang yang gua peduliin gimana, Clair?” satu pertanyaan itu seketika langsung membuat Clairine membeku. Gadis gembul itu berusaha untuk meneguhkan hatinya agar ia tidak baper dan sekarang dia berusaha untuk menenangkan jantungnya. “Lu jangan sampe suka sama dia bego. Dia ngelakuin semua itu karena dia nganggep lu sebagai adiknya yang kebetulan mirip sama lu. Udah itu aja bego, jangan sampe lu ngarep lebih. Sekarang lu jawab pertanyaan menjebak itu dengan pintar, jangan sampe lu biarin dia masuk ke dalam pikiran lu.” suara dari pikirannya itu langsung membuat Clairine tersadar.

✓house with no mirrors✓Where stories live. Discover now