24. Diktair Chapter Dua Puluh Empat : Flashback

15.7K 1.4K 20
                                    

1. Agustus, 2018

Malam itu Airsya berjalan sendirian di gelapnya tengah kota dengan kesadaran yang tidak sepenuhnya, karena ia habis menengguk beberapa minuman keras yang kadar alkoholnya lumayan tinggi di rumah Juno Bersama Dikta dan Gerri.

Sebenernya Dikta menawarkan untuk mengantar Airsya pulang, namun Airsya menolaknya dan bersikeras untuk pulang sendiri.

Mungkin menurut kalian siswa SMP seperti Airsya sangatlah tidak pantas meminum minuman seperti itu, apalagi ia seorang perempuan. Tetapi, Airsya tidak peduli, ia hanya ingin melupakan itu semua, ia hanya ingin lupa kalau ia punya kedua orang tua dan pernah di lahirkan dari Rahim ibu yang tidak pernah mengharapkan kehadiran.

Ya, selama hampir lima belas tahun Airsya hidup di bumi, ia tidak pernah mengenali atau mengetahui sosok orang tuanya.

Dengan sempoyogan Airsya memegang kepalanya yang pusing begitu berat, hingga ia menabrak seorang pria bertubuh gempal dan kekar. Airsya tidak mengenali pria itu, yang ia rasakan hanya tarikan oleh segerombolan pria, hingga ia benar-benar tak sadarkan diri.

"WOY ANJING LO SEMUA, BERANINYA SAMA CEWEK, SINI LAWAN GUE!" Teriak Dikta datang seorang diri.

Dikta khawatir jika nanti terjadi apa-apa dengan Airsya, karena Airsya setengah mabuk. Jadi, Dikta memutuskan untuk menyusul Airsya. Ya, benar saja Airsya sepertinya akan menjadi santapan segerombolan laki-laki yang lapar dan haus akan tubuh perempuan, tapi Dikta tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Seorang pria gondrong yang sepertinya usianya lebih tua dari Dikta, menghampirinya.

"Anak kecil, so jagoan, mending tidur sono udah malem jangan keluyuran nanti di cariin mama." Pria itu melirik Dikta yang masih menggunakan pakain sekolah SMP.

Mereka menertawakan Dikta, apalagi yang kepalanya botak, tertawanya begitu keras membuat Dikta mengepalkan tangannya.

'BUGHTTT'

Dikta memukul pria berambut gondrong tersebut hingga darah segar mengalir di kelopak matanya, karena pukulannya tepat mengenai bola mata pria itu. Teman-temannya langsung menghampiri Dikta dan mengeroyok Dikta.

"BANCI LO SEMUA! LAWAN GUE SATU-SATU, KALAU LO SEMUA EMANG BENARAN LAKIK!" Teriak Dikta, seraya mencoba menghindari pukulan-pukulan itu dengan menaruh kedua tangannya di depan wajahny.

"Anjing lo, mati lo sama gue anak kecil!" Bentak pria yang berkepala botak.

Pria berkepala botak itu menghujani Dikta dengan beberapa pukulan.

Tetapi, Dikta tidak mau kalah, ia mengambil kayu yang tergeletak di sebelahnya dan langsung memukul pria botak itu hingga terpental lumayan jauh. Tidak sampai situ Dikta juga terus menghujani mereka satu persatu dengan kayu yang ia pegang.

Dikta bingung jumlah mereka sangat lah banyak, ia berlari mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ya, ia mengeluarkan gesper gear dan cerulit yang setiap hari ia bawa untuk jaga-jaga adanya serangan dadakan.

"MATI LO SAMA GUE!" Teriak Dikta.

Dikta tersenyum sinis, saat beberapa pria mulai mundur dan melarikan diri, sampai tersisa dua belas orang yang wajahnya sangat ketakutan melihat Dikta yang memegang senjata tajam.

Dikta yang saat itu sangat murka, langsung menghujani mereka dengan gesper gear serta cerulitnya, hingga mereka kehilangan kesadarannya. Tapi, ia tidak peduli dan tidak ada rasa bersalah sedikitpun, Dikta tidak akan melakukan itu semua jika mereka bisa menghargai seorang perempuan.

"Ca, lo gapapa? Hampir aja gue telat, gue nggak akan maafin diri gue sendiri kalau terjadi apa-apa sama lo."

Dikta mengangkat tubuh Airsya dan menggendongnya, Dikta lupa kalau ia tidak membawa mobil, ia tidak mungkin membawa Airsya dengan motornya, apalagi airsya belum sadar. Kalaupun Dikta memesan taxi, sangatlah susah waktu sudah tengah malam bahkan mau menuju pagi. Jadi, Dikta memutuskan untuk mengantarkan Airsya dengan berjalan kaki, sambil menggendong tubuh Airsya.

DIKTAIR Onde histórias criam vida. Descubra agora