41. Diktair Chapter Empat Puluh Satu : Dikta Tak Sadarkan Diri

12.6K 1.4K 317
                                    


"Bukannya membenci itu nggak baik?"
-Ragaspati Nugraha-

Note : Sanggup komentar disetiap paragraf? Kalau sanggup aku double update nanti malam🐣

****

Gerri menghentikan mobil milik Gladis yang ia kendarai, tepat di depan gerbang rumah Dikta yang terbuka lebar.

Ya, karena Gerri telat datang ke markasnya Singa, ia langsung datang ke rumahnya Dikta, untuk melihat kondisi sahabatnya itu.

"Maaf ya kak, gara-gara nganterin aku ke toko buku, kak Gerri jadi telat bantuin kak Dikta," Gladis tampak menyesal.

Gerri tersenyum. "Gapapa, kak Gerri gak mungkin juga ninggalin kamu sendirian."

"Iya kak, aku jadi ngerasa bersalah." Gladis menundukan kepalanya.

Gerri memegang kedua tangan Gladis, menggenggamnya dengan sangat lembut. "Gapapa, tapi kamu jangan pernah ngerasa seperti itu lagi, ya?"

Gladis tersenyum, ia sangat beruntung bisa memiliki Gerri yang begitu pengertian terhadapnya, padahal hubungannya baru terjalin beberapa hari, tetapi nyaman itu timbul seakan sudah berlalut lama.

Mereka membuka pintu mobil bersamaan, Gerri berjalan masuk ke dalam rumahnya Dikta sambil tak melepas rangkulan tangannya dari Gladis.

"Kak, kok pintu rumahnya kak Dikta terbuka lebar, ya? Udah gitu gerbangnya juga gak di tutup?" tanya Gladis, ia bingung.

Gerri kembali memperhatikan gerbang yang tidak di kunci, rasa ke khawatirnnya mulai muncul, ia melepaskan rangkulannya, beralih pada genggaman tangan Gladis, dan mengajak ya berlari memasuki rumah milik kediaman Dikta.

"DIKKK!"

Gerri terus memanggil nama Dikta, tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Rumah ini kosong dan sepi, membuat Gerri semakin bertanya-tanya, ada apa gerangan.

"Kak Diktaaaaa."

Gladis ikut memanggil nama Dikta, berteriak mengikuti Gerri.

"DIKTAAA."

Gerri berlari menyusui berbagai sudut rumahnya Dikta, tetapi nihil ia tetap tidak menemukan apa yang ia cari.

Gladis memegang pundak Gerri. "Aku yakin, kak Dikta Gak kenapa-kenapa."

"Makasih udah selalu jadi obat penenang buat aku, Dis."

Gerri mengambil tangan Gladis, lalu mencium punggung tangannya dengan begitu lembut.

"Kamar kak Dikta dimana? Siapa tahu dia ada dikamarnya?"

Gerri diam, sebetulnya ini kali pertama ia masuk ke dalam rumahnya Dikta, sebelumnya sama sekali ia tidak pernah meninjakan kaki di tempat ini. Tetapi, ia ingat Dikta pernah bilang kalau di kamarnya ada balkon, itu berati ada di lantai dua.

"Kak Gerri?"

Gerri tersenyum, "Iya, kenapa calon istrinya aku?"

Mendengar Gerri memanggilnya calon istri, seketika wajah Gladis memerah. Walaupun kenyataanya kemungkinan itu kecil, bahkan tidak ada.

Melihat tidak ada balasan dari Gladis, Gerri kembali menggengam tangan Gladis, mengajaknya melangkahkan kaki menaiki tangga.

Baru saja selangkah, suara serak tangisan dan jeritan terdengar sangat jelas di indra pendengaran mereka berdua.

"Aaaaaaaa..."
"Tolong...tolong...tolong..."
"Hikssss..hikkssss..tolll..toll..tolong.."

Gerri melirik Gladis sekilas, lalu berlari dengan tangan yang masih menggenggam Gladis.

DIKTAIR Where stories live. Discover now