[1.4] Jupri

70 12 0
                                    

Jupri Wally.

Pagi ini gue buru-buru pergi ke kantor redaksi yang terletak di sekitaran jalan Seokarno-Hatta, karena urusan pekerjaan. Padahal kalau lihat jadwal nih ya gue kebagian kerja tuh siang, tapi ada aja yang ngehalangin gue buat males-malesan.

Pimpinan redaksi nyuruh gue buat meriksa ulang berkas laporan berita kemarin tentang kasus yang di pegang sama tim 1 di luar Bandung, lebih tepatnya di Banten. Kasusnya berupa pembengalan yang udah marak terjadi disana, karena gue kepala tim dan anggota lain udah keburu di suruh buat ngeliput sebuah kasus di daerah Cimahi ya alhasil semuanya di limpahkan ke gue.

Enggak rumit sih gue cuman harus duduk dan baca laporan yang udah di susun sedemikian rupa sehingga tidak ada kesalahan. Bagaimana pun seorang reporter benar-benar di latih untuk mengelola sebuah informasi, biar nanti ga salah dan berujung ngasih berita hoax ke masyarakat. Kan bisa berabeh kalau gitu urusannya, bisa-bisa bangkrut nih kantor.

"Udah saya periksa semua pak, aman terkendali," ujar gue, setelah beberapa kali baca laporan tersebut yang tebalnya mendekati berkas skripsi gue waktu zaman dulu.

"Bagus. Kamu harusnya kerja siang ya? Kenapa ga bilang tadi sama saya? Kalau bilang kan saya bisa minta tolong tim lain." Lah ini faktor U atau apa sih? Perasaan yang bikin jadwal masuk karyawan dia sendiri deh.

"kan emang ngikutin jadwal pak, bapak lupa yang bikin jadwal kan bapak sendiri."

Maklumi aja, pimpinan redaksi di kantor gue nih udah lumayan berumur ya sekitaran 50-60an, tapi beliau masih aktif di dunia jurnalis kayak gini. Katanya ini adalah pekerjaan yang beliau sukai, beliau pernah bilang kayak gini ke gue sebagus apapun pekerjaan kamu, sebesar apapun gajinya, kalau kamu kerja di bawah tekanan mending relain aja. Ga bagus buat diri sendiri.

Dan ya benar aja, gue mengalaminya. Sehabis lulus SMA gue di haruskan untuk mencari pekerjaan dengan bermodalkan izajah SMA doang, keadaan ekonomi keluarga gue lah yang mengharuskan gue gesit kesana-kemari buat lamar kerja. Bersyukur gue bisa keterima jadi petugas kebersihan di kantor ini, setiap hari gue pasti memperhatikan bagaimana setiap karyawan disini bekerja dan dari situlah ketertarikan gue mengenai dunia jurnalis muncul. Punya tekad yang kuat gue jadi mulai ngumpulin uang dari hasil kerja buat kuliah, ya walaupun gue harus extra kerja lagi. Setidaknya gue pernah mengalami 4 pekerjan sekaligus hingga akhirnya menjadi reporter di tempat pertama gue kerja, sebuah kebetulan ataupun takdir intinya gue benar-benar bersyukur karena, bisa lalui itu semuanya.

"Saya udah tua Pri lain kali kamu yang harus ingatin saya duluan," gue mengangguk benar juga ya.

"Siap pak, kalau gitu karena jam kerja saya masih lama jadi saya izin pamit ah mau balik tidur lagi di rumah," Canda gue.

Beliau tertawa ringan dan menepuk pundak gue. "Yaudah silahkan, makasih ya udah mau datang tadi." Setelah mengucapkan kalimat itu, beliau pergi dari hadapan gue.

"Woy bang Jupri, ngapain kesini? Rajin banget, mending tukeran sama gue jam kerjanya." Gue mengalihkan pandangan kearah seorang cowok yang baru aja datang, ciri khas dengan tas ransel yang modelnya mirip kayak anak sekolahan.

"Di panggil pak Arief tadi buat cek laporan. Tumben datang telat, ada masalah?" Tanya gue sambil berjalan menghampiri meja kerjanya.

"Tadi ke rumah sakit dulu lihat bapak," jawabnya pelan.

Cowok yang ada di samping gue yang lagi sibuk nyalain komputer di hadapannya memang memiliki latar belakang keluarga yang sedikit berat. Ayahnya adalah penjabat penting di kota ini tapi, malah terlibat obat-obatan terlarang dan akhirnya di rehabilitasi di rumah sakit jiwa di daerah Lembang. Gue salut banget sama dia, ga pernah sekalipun lupa tentang sosok ayahnya. Setiap kali ayahnya ngamuk, Surya pasti akan selalu menjadi garda terdepan untuk menenangkan ayahnya, Surya menjadi satu-satunya keluarga dekat yang bisa di andalkan. Makanya gue selalu rescpet sama dia.

BAKADUNG Vol 1 [SVT]Where stories live. Discover now