[2.6] Wahyu

74 9 0
                                    

Wahyu Awaludin.

Semenjak pemerintah bikin satuan tim khusus buat nanganin kasus dago pakar, gue semakin rajin buat analisis kasus ini. Pagi,siang, malam bahkan sampai begadang gue selalu memusatkan pikiran dan tenaga gue untuk kasus ini. Bahkan nih ya kamar gue udah mirip sama markas-markas dektetif yang sering muncul di film-film. Penuh dengan beberapa foto yang gue ambil di TKP, foto korban, artikel tentang kasus ini ya pokoknya kayak gitu-gitu lah.

Dan besok saatnya gue kembali beraksi. Gue harus kembali jadi dokter utama setelah Johan nyerahin autopsi korban pertama ke gue sama Dilan. Gimana ya rasanya. Senang sih cuman kejadian kemarin yang pas gue pegang alat pemotong tulang rusuk kembali terulang. Apalagi kasus yang gue pegang kali ini benar-benar jadi pusat utama masyarakat. Gue masih takut ngelakuin kesalahan. Ya gitulah.

"Enggak ada sama sekali bercak darah di tanah, udah di pastiin kalau korban enggak di bunuh TKP. Kemungkinan besar korban di bunuh di tempat lain setelah itu baru di bawa ke TKP. Ucapan Mirza waktu itu emang benar tapi, tetap aja itu enggak bikin gue yakin sepenuhnya," gue ngomong sendiri sambil merhatiin foto yang menunjukkan tanah tempat korban di temukan.

"Hasil analisis laboratorium yang Wafi kasih pun enggak menunjukkan kalau di tanah itu ada darah sama sekali, tapi gue yakin kalau darah yang keluar dari tempat penusukan masih segar. Cenderungnya kalau korban di bunuh di tempat lain warna darah bakal berbeda dengan warna darah yang masih segar. Baunya pun gitu. Apa mungkin sebenarnya korban emang di bunuh di TKP tapi, di tempat lain?," Gue bertanya ke diri sendiri. Apa iya ya? Kalau emang di bunuh di TKP tapi, di tempat lain kira-kira dimana? Dago pakar hampir seluruh kawasannya itu hutan dan tempat terbuka, paling paling kalau gedung pun pasti banyak orang disana.

Gue menghela napas panjang. Ternyata pecahin kasus ini enggak semudah yang gue kira. Gue pikir waktu pertama kali lihat korban pertama itu cuman kasus pembunuhan pada umumnya. Enggak ada ciri khas dari pelaku kali ini dia enggak ninggalin luka apapun di korban selain luka di dada karena penusukan. Tapi, kenapa pelaku nekat? Bahkan sampai-sampai dia bocorin indetitas korban?.

"Kamu masih mikirin kasus itu Hyu?," Gue kaget pas Papa tau-tau udah di belakang gue aja. Asli untuk gue enggak jantungan.

"Masih pa."

"Papa udah analisis juga. Kemungkinan pendapat kamu waktu kemarin itu benar. Coba minta pihak kepolisian buat periksa TKP lagi, kalau bisa periksa semuanya. Papa yakin ada jejak yang di tinggalin pelaku," Emang sih kemarin gue sempat cerita dan minta papa buat bantu mecahin kasus ini. Karena, gue tau beliau lebih berpengalaman daripada gue dan gue juga tau kalau beliau juga pasti sering dapat kasus berat kayak gini.

"Makasih ya pa udah bantuin Wahyu," ucap gue berterima kasih.

Papa mengangguk. "Makan dulu yuk. Kamu pulang kerja langsung ngurung di kamar terus," gue tertawa pelan. Tapi, emang iya sih. Hahaha.

Gue sama papa akhirnya makan malam bareng. Kita juga sempat beberapa kali tukar cerita dan beberapa kali juga papa nasehatin gue. Gue bersyukur karena, gue masih punya papa dan gue juga bersyukur karena makin kesini gue semakin dekat sama papa. Soalnya sebelum mama gue meninggal gue cenderung jarang berinteraksi sama papa. Apalagi gue enggak punya saudara kandung jadi ya tempat cerita gue sekarang cuman papa doang. Plus deh sama Bakadung. Hehehe.

---

Seperti biasa mau ada jadwal autopsi ataupun enggak semua orang yang kerja di rumah sakit Bhayangkara harus datang pagi-pagi. Kadang gue mager aja berangkat pagi eh pulang sore bahkan bisa malam kalau misalnya ada kasus dadakan yang harus di kerjain hari itu juga. Suasananya udah mulai ramai, bahkan di warung Mbak Dinar aja udah ada beberapa dokter yang lagi ngopi pagi sambil ngemil gorengan.

BAKADUNG Vol 1 [SVT]Where stories live. Discover now