[1.9] Mirza

65 12 3
                                    

Mirza Rafian Dzaki.

"Jangan jadi TNI kayak bapak ya Za, kamu harus punya cita-cita sendiri"

"Kenapa pak? Padahal Mirza pingin kayak bapak jadi TNI"

"Bapak pingin kamu jagain ibu sama Mila, kasihan kalau kamu jadi TNI. Siapa yang jagain mereka? Bapak udah gagal jadi suami yang baik buat ibu kamu dan bapak ga mau gagal lagi jadi bapak yang baik buat kamu sama Mila"

Percapakan itu akan selalu membekas di ingatan gue sampai kapan pun, gue masih ingat percakapan itu di mulai ketika gue mengajak bapak untuk ngobrol di teras rumah waktu umur gue masih sekitar 5 tahun dan Mila masih bayi.

Bagi gue, ibu dan Mila bapak merupakan sosok suami dan orang tua yang lembut sekaligus tegas. Beliau selalu mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan keluarganya, beliau selalu menyempatkan pulang walaupun cuman beberapa jam bahkan kepulangan bapak dalam setahun bisa gue hitung pakai jari saking jarangnya beliau pulang.

Kadang gue suka diam-diam lihat ibu nangis sendirian karena bapak gue juga sering lihat Mila sedih karena ga bisa main sama bapaknya dan disitulah gue benar-benar memahami percakapan gue waktu dulu sama bapak. Bapak ga mau bikin ibu sama Mila nambah sedih dengan kepergiaan gue juga, bapak ga mau lihat ibu sama Mila kesepiaan dan bapak ga mau kalau lihat ibu sama Mila ga ada yang jagain. Bapak menaruh harapan ke gue buat jagain dua sosok malaikatnya maka dari itu gue dengan berat hati menggubur cita-cita gue jadi TNI dan memilih jalan lain tetapi, tetap dengan tujuan yang sama yaitu mengabdi kepada negara.

"Bagus pulang malam" Ucap gue ketika Mila baru aja masuk ke dalam rumah, bukan apa-apa walaupun Mila berangkat sama teman gue sendiri tetap aja gue sebagai abangnya khawatir.

"Masih jam 11 bang, santai kali" Ucap Mila santai dan duduk di sofa.

Gue mengerutkan keningnya jam 11 di bilang santai? "Eh lo ya jam 11 tuh lagi rawan-rawannya begal ngejalanin aksi mereka, emang lo ga takut di begal hah?" Tanya gue sewot.

"Mila kan udah pulang berarti tadi aman-aman aja kan?" Tanyanya balik.

Ya ga salah sih tapi. "Kapan bapak pulang?" Pertanyaan tiba-tiba Mila bikin gue terdiam seketika.

Melihat gue yang ga jawab Mila bangkit dari duduknya dan tersenyum tipis ke arah gue. "Kayaknya Mila salah ngomong deh ya, pertanyaan retoris" Setelah mengucapkan itu Mila berjalan menuju kamarnya.

"Secepatnya" Ucap gue cepat sebelum Mila masuk ke kamarnya.

"Abang bohong dari kemarin bilang bapak pulang secepatnya terus, ingat ya bang Mila bukan anak kecil lagi"

"Abang ga bohong kemarin abang dapat kabar dari temannya bapak kalau konflik di perbatasan Papua udah selesai bapak bakal cepat pulang" Jawab gue jujur.

Mila terkekeh. "Kalau konfliknya belum selesai? Pasti bapak bakal tetap disana kan?" Dan ya pertanyaan Mila ga bisa gue jawab lagi.

Gue melihat pintu kamar Mila di tutup sedikit kencang, gue tau kalau Mila benar-benar merindukan sosok bapak tapi, gue juga ga bisa berbuat apa-apa. Ini udah kewajiban bapak buat bertugas di manapun dan kapan pun.

"Mila marah lagi Za?" Gue menoleh ke arah sumber suara, ibu ternyata.

"Iya bu, biasa" Jawab gue.

Ibu tersenyum. "Padahal umur dia udah masuk 20-an tapi, sifatnya masih kayak anak kecil yang belum terbiasa di tinggal bapaknya" Ucapan ibu benar. "Yang sabar ya hadapi sifat adik kamu" Tambah ibu.

Gue tersenyum. "Ya bu ga apa-apa, mungkin Mila lagi kangen bapak aja jadi sensitif"

Malam itu gue berbincang dengan ibu tentang segala hal mulai dari pekerjaan gue sampai bahas tentang gue yang diburu-buru buat nikah ya allah padahal gue lagi pingin nikmati waktu sendiri dulu dan mungkin gue juga masih belum siap harus ninggalin Ibu sama Mila nanti. Ya lagian urusan jodoh kan udah di atur ya.

BAKADUNG Vol 1 [SVT]Where stories live. Discover now