11: Why?

189 41 9
                                    

"Naura, lo ternyata orangnya asik, ya. Gue mau pindah duduk di sebelah lo, boleh?"

Pertanyaan Bima sempat membuat Naura merasa gugup. Baru kali ini, ada seseorang yang mau duduk di sebelahnya secara sukarela seperti Bima. "Lo serius?"

"Iya, dong. Sekarang kita kan sahabatan, jadi lebih asik kalo duduknya deket, kan?" goda Bima, lalu menaruh tasnya di kursi kosong sebelah Naura.

"Temen sebangku lo nggak keberatan?"

"Kenapa harus keberatan? Gue kan bukan pacarnya," jawab Bima asal, lalu duduk dengan santai di sebelah Naura saat bel masuk berbunyi. "Eh, eh, tuh Resya baru dateng."

"Iya, dia habis makan bareng Nata, kan?"

"Ciee, lo cemburu, ya? Lo mau makan bareng Nata? Gue bantuin, gimana?"

"Ngaco. Ngapain gue cemburu? Tadi gue udah bahagia banget karena bisa ngobrol cukup lama sama kak Angga. Dia baik banget, ya."

Bima memajukan sedikit bibir bawahnya. Ternyata Nata bertepuk sebelah tangan. Kasihan. "Terlalu baik, malah. Gue sebenernya muak sama orang yang terlalu baik, karena pasti mereka bodoh dan gampang dimanfaatkan. Tapi, Kak Angga untungnya pinter walau pengecut."

"Pengecut?" Naura mengernyit, sedikit tidak terima dengan ucapan Bima.

"Iya, dia nggak berani ngelawan orangtuanya. Kalau gue ada di posisinya, gue mungkin ... bakal kabur dari rumah. Karena, dipukulin itu sakit, kan? Kenapa dia milih bertahan, dibanding kabur?"

"Dia bukan anak durhaka, Bim. Dan, sejahat-jahatnya orangtua, sebagai anak ... kita nggak semudah itu buat kabur. Mungkin Kak Angga tahu, walau dia kabur, orangtuanya pasti bisa nemuin dia."

"Hmm, jadi percuma kabur gitu, ya." Bima mulai mengerti, bahwa keluarganya dan Angga sangatlah berbeda. Ia tidak boleh membandingkan Angga dengan dirinya.

"Duh, kenapa kita jadi ngomongin masalah Kak Angga? Kalo ada yang denger, gawat tau." Naura pun mulai mengeluarkan buku Matematika-nya. Pelajaran Pak Sugiman akan segera dimulai.

"Waduh, jamnya Pak Sugiman, ya? Gue padahal mau cabut, tapi nanti lo kesepian." Bima menghela napas dengan berat. "Baiklah, gue akan mencoba bertahan."

Naura mendnegus. "Lo nggak suka pelajaran Pak Sugiman?"

"Gimana, ya? Setiap Pak Sugiman ketemu gue, kuping gue pasti dijewer. Gue kan jadi males."

"Lagian, lo juga yang hobi bolos seenak jidat. Lo serius nggak punya penyakit keras, kan? Gue tadi sempat percaya loh, pas lo bilang lo punya penyakit."

"Lo percaya?" Bima berdecak, "Tapi, Nata dan Rezki kok nggak percaya, ya?"

"Malah balik nanya. Jadi, lo punya penyakit apa nggak?"

"Nggak, lah. Jangan khawatir gitu, kita kan baru kenal."

"Lo punya sifat yang bikin gue iri," gumam Naura.

"Apa, tuh?"

"Lo gampang bergaul. Lo bisa bikin siapa pun yang baru kenal sama lo, merasa nyaman."

"Oh, ya? Gue cuma berusaha buat lebih terbuka. Syukurlah kalau berhasil," gumam Bima sedikit salah tingkah. "Tapi, Rezki bilang, gue annoying karena terlalu banyak ngomong."

"Yah, sedikit."

"Hei, lo harusnya bilang, 'nggak! Lo tuh orangnya asik banget, Bima.' Bukannya malah setuju sama Rezki!" dengus Bima.

"He-he, gue cuma berusaha jujur."

"Oke, gapapa. Gue suka orang yang jujur. Tapi, sekali-kali bohong demi kebaikan, apa salahnya?"

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang