8: He's weird

917 218 66
                                    

Pak Sugiman tercengang mendengar permintaan salah satu murid nakalnya yang pintar. "Apa? Pindah kelas?"

"Iya, saya mau Naura pindah ke kelas saya, Pak," ujar Nata dengan santai.

"Pranata! Kamu pikir, sekolah ini punya nenek moyang kamu?!"

"Ini kan masih semester awal, kenapa dia nggak boleh pindah kelas?" tanya Nata tidak mau kalah.

"Saya tanya, kenapa dia mau pindah kelas? Apa ada masalah dengan teman sekelasnya?"

Saat Nata mau menjawab, Naura reflek menginjak kaki cowok itu. "Maaf, Pak. Kalau nggak bisa, kita nggak akan maksa. Terima kasih atas waktunya," ucap Naura sopan, lalu menarik kerah baju Nata hingga ke luar ruangan.

Setelah Naura berhenti menyeret Nata seperti kucing, cowok itu pun dengan kesal bertanya, "Kenapa lo nggak mau jujur bilang kalau lo di-bully? Semua bakal beres kalau lo—"

"Gue malu," gumam Naura. "Lo nggak pernah di-bully, jadi lo mungkin nggak ngerti gimana perasaan gue. Yang pasti, gue nggak mau semua orang tahu kalau gue di-bully. Ini urusan gue, lo nggak perlu ikut campur."

"Lo mau berlagak kuat sekarang? Setelah lo nangis-nangis bahkan muntah di kamar mandi sendirian, sekarang lo mau sok kuat di depan gue?"

"Bukan berlagak kuat. Tapi, fakta kalau gue adalah korban bullying, nggak perlu diketahui orang banyak. Apalagi sama guru. Paham?"

Nata mengacak rambutnya dengan kesal, lalu membuang napas. "Kalau gitu, gue harus gimana?"

"Nothing. Lo nggak perlu bantu gue."

"Terus, apa lo mau balik ke kelas? Ketemu anak-anak yang udah ngejek lo?"

"Ya, terpaksa."

Nata berdecak, lalu menggandeng tangan Naura. "Kalo gitu, gue anter sampai lo masuk kelas."

"Hah? Ngapain?! Nggak usah!"

"Diem, jangan banyak protes!"

Dengan sekuat tenaga, Naura menepis tangan Nata. "Gue bisa jalan sendiri. Jangan bikin gue makin dibenci adek lo, please. Sana balik ke kelas lo."

Nata tidak tahu harus berkata apa, setelah melihat wajah Naura yang begitu kesal sekaligus sedih. "Maaf. Ya udah, hati-hati."

Naura mendengus, lalu berjalan cepat melewati Nata. Ia terus berjalan, dan sama sekali tidak berharap Nata akan mengejarnya. Namun, setelah sampai di depan kelas, Naura kembali membeku. Ia takut. Masih takut.

"Naura, kamu terlambat?" tanya Bu Asih dengan lembut. "Masuk dan cepat duduk di tempat kamu."

Naura akhirnya melangkah masuk dan menunduk saat melewati Bu Asih. "Maaf, Bu."

Tidak, Naura bahkan terus menunduk hingga berhasil duduk di tempatnya. Ia mengeluarkan buku Biologi, lalu mulai menyimak pelajaran. Namun, sekeras apa pun Naura menyimak, tetap saja pelajaran terasa sulit masuk ke dalam otaknya. Ia menghela napas beberapa kali, hingga ada sebuah gumpalan kertas yang mendarat di atas mejanya.

Naura menoleh, seorang cowok menaruh jari telunjuk seolah menyuruh Naura diam dan tidak boleh bilang siapa-siapa.

Naura membuka gumpalan kertas itu, lalu membacanya dalam hati.

R u okay? -Bima

Naura cukup terkejut membacanya. Bima, siswa nakal yang sering bolos, bertanya keadaan Naura? Apa kepala Bima habis membentur sesuatu? Naura bahkan tidak ingat pernah bertegur sapa dengan Bima sebelumnya.

Naura pun menoleh ke Bima yang masih memperhatikannya. Naura hanya mengangguk, meremas kertas pemberian Bima, lalu membuang pandangannya ke papan tulis.

SunflowerWhere stories live. Discover now