1: Selalu Diabaikan

3.6K 595 288
                                    

"Kalau jalan pakai mata!"

Naura hanya terus menunduk dan meminta maaf dengan pelan. Membuat kakak kelas yang tidak sengaja ia tabrak menjadi semakin kesal. "Yaudahlah, sana pergi!"

Setidaknya, kali ini Naura tidak diabaikan. Ia merasa, lebih baik dimarahi daripada diabaikan.

Benar sekali, Naura memang sering diabaikan oleh mamanya, papanya, adik laki-lakinya, bahkan seluruh murid di kelasnya. Ia sering merasa tidak dianggap.

Apa karena wajahnya yang jelek? Badannya yang gendut? Rambutnya yang ikal tidak jelas? Atau karena otaknya yang pas-pasan? Sial sekali, bukan? Naura selalu merasa tidak memiliki satu hal yang bagus pada dirinya. Kalau di novel, biasanya anak yang pendiam itu selalu pintar. Tapi, kenapa Naura tidak?

Naura benci ujian. Ia juga pernah tidak masuk sekolah karena malas mengikuti pelajaran Fisika. Nilainya standar, paling tinggi 7. Namun, guru-guru tidak pernah memarahinya. Entah karena banyak yang lebih parah, atau memang dirinya tidak dianggap. Naura tidak mengerti.

Di saat dirinya sedang melamun sambil merapikan buku di perpustakaan, akhirnya orang yang dari tadi ditunggunya datang. Naura otomatis tersenyum saat melihat cowok itu masuk sendirian sambil membawa setumpuk buku. "Kak Angga makin ganteng aja, ya ampun," gumam Naura tanpa sadar. "Itu dia mau balikin buku? Nggak mual apa baca buku sebanyak itu?"

Naura mulai berjalan mendekat, berpindah tempat untuk bersembunyi dan memperhatikan kakak kelas idolanya itu. Naura terlalu takut memperlihatkan diri. Ia takut Angga akan kabur.

Secara, semua murid cowok di kelasnya selalu menghindar setiap Naura lewat. Mereka selalu bilang, "Awas ada babon lewat."

"Minggir, bego. Nanti lo mental kalo ditabrak dia."

"Itu rambut apa sarang tawon? Hahahah."

Dan masih banyak lagi ejeken lainnya yang lebih menyakitkan. Untung saja Naura sudah kebal. Terlalu sering diejek membuat dirinya terbiasa.

"Kenapa gue harus terlahir mirip ayah, sih?" Naura menghela napas, lalu terkejut saat Angga melihat ke arahnya. Ia langsung berbalik badan, mengambil satu buku secara acak dan pura-pura sibuk membaca. Naura menghitung dalam hati, setelah merasa aman, ia menoleh ke belakang untuk melihat Angga lagi. Namun, sayangnya, Angga sudah tidak ada di tempat peminjaman buku. "Lah? Hilang?"

"Lo suka Tere Liye juga?"

Suara ramah dan sehangat matahari itu membuat Naura otomatis terkejut. Angga sudah berdiri di hadapannya. "Hah?" Ia hanya bisa memandang Angga dengan wajah super bodoh.

"Itu buku yang lo pegang. Buku favorit gue." Angga masih tersenyum sambil menunjuk buku yang dipegang Naura. "Lo baru baca? Atau gimana?"

Naura terkekeh hambar. "Oh! Buku ini! Gue udah baca sekitar sepuluh kali, Kak!"

"Oh, ya? Bagian mana yang lo suka?" Angga bertanya dengan sangat semangat. Sama semangatnya dengan jantung Naura yang terus berdebar.

"Bagian ... semuanya! Setiap kata yang ada di buku ini ... berkesan banget." Bagus, Naura pasti terdengar konyol. Ia memang tidak pandai berbohong. Naura harus siap jika Angga tiba-tiba menjauh seperti semua orang.

"Really? Gue juga mikir gitu, loh." Angga ternyata tertawa. "Wah, keren. Kapan-kapan kita harus ngobrolin soal buku ini, oke ... Naura?"

Ya Tuhan, apa Naura salah dengar? Angga mengetahui namanya? Bagaimana mungkin?!

"Gue balik ke kelas dulu ya, Naura. By the way, name tag lo rada miring, tuh." Angga menunjuk dengan santai name tag yang Naura pakai di seragamnya. Astaga, bagaimana bisa ia lupa kalau seluruh murid di sekolahnya memakai name tag? Memalukan.

SunflowerWhere stories live. Discover now