14: Annoying Brother

184 30 23
                                    

Nata memang tidak mengerti jalan pikiran Bima. Namun, jika diingat-ingat lagi saat SMP, Bima memang tidak pernah mengajak Nata dan Rezki main ke rumahnya. Sekarang Nata baru mengerti. Orangtua Bima ternyata sangat tegas dan disiplin, jadi mereka pasti tidak mengizinkan Bima membawa teman ke rumahnya.

Namun, kenapa Bima tidak mau memberitahunya tentang hal itu? Di depan Nata dan Rezki, Bima selalu tertawa tidak jelas seperti orang yang tidak punya beban hidup. Atau, apa Nata saja yang kurang peka dan perhatian? Ia tidak bisa melihat arti di balik senyuman palsu sahabatnya itu.

"Rezki!" Nata menarik tangan Rezki dari belakang dengan cukup kencang. "Tenangin diri lo dulu! Jangan nendang mobil orang sembarangan!"

"Tenang? Gue udah cukup tenang, Nat. Buktinya, gue nggak nonjok Bima, kan?"

Rezki memang berkata begitu, tapi ekspresinya begitu kesal dan napasnya tidak beraturan. "Dia pasti punya alesan sendiri, Rez. Gue tahu lo kecewa karena dia nggak terbuka tentang masalahnya, tapi ... bukannya kita juga nggak pernah nanya keadaan keluarganya?"

"Hah?" Rezki menaikkan satu alisnya. "Apa kalau kita nanya, dia bakal jawab jujur pas orangtuanya meninggal? Kayaknya nggak deh, Nat."

"Tapi, kita memang kurang peka, Rez. Pas dia mendadak bolos terus, kenapa kita sama sekali nggak dateng ke rumahnya?"

"Karena ... kenapa, ya?" Rezki berusaha mengingat-ingat, tapi ia tidak menemukan alasan yang tepat.

"Kita terlalu menganggap Bima tuh sama sekali nggak punya masalah. Kita pikir, keluarga dia baik-baik aja karena Bima selalu ketawa nggak jelas setiap kita ketemu. Padahal, sebaliknya."

Rezki mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Bego banget ya kita?"

"Banget. Makanya, kita juga salah. Sama salahnya kayak Bima."

"Mau balik lagi, Nat? Gue mau minta maaf ke Bima."

Nata menggeleng. "Tenang aja, biarin Bima mikir dulu. Gue yakin, Naura juga bisa bikin dia lebih tenang."

"Oke, Nat. I trust you."

"Trust her too."

***

"Thanks, Naura." Bima menghela napas, lalu bangkit berdiri. "Gue mau ngejar mereka."

Naura mendengus geli. "Ngapain? Besok juga kan ketemu."

"Iya juga, sih. Yaudah besok aja." Bima pun kembali duduk. "Jadi, menurut lo, mereka beneran menganggap gue sahabat? Mereka marah karena kecewa, gue nggak jujur terbuka sama mereka. Gitu?"

"Yap. Dari yang gue lihat sih kayak gitu. Kalau mereka nggak menganggap lo sahabat, ngapain mereka marah?"

"Oke. Gue merasa lebih lega karena satu masalah gue terpecahkan. Selama ini, gue emang kayak menerka-nerka mereka tuh menganggap gue tuh apaan. Soalnya kadang, gue merasa kayak babu mereka doang, Nau."

Naura tanpa sadar tertawa. "Babu? Kok gitu?"

"Mereka suka nyuruh-nyuruh gue. Tapi nyuruhnya itu hal-hal yang sepele."

"Contoh?"

"Nyolokin charger. Mereka kan punya tangan, ya? Tapi kalo gue lagi main ke rumah Rezki gitu sama Nata, mereka selalu nyuruh gue nyolokin charger. Terus, pesan makanan juga pasti gue yang disuruh. Oh iya, bikin minuman juga! Tapi anehnya, gue nurut-nurut aja, Nau!"

"Lagian, lo nggak protes, sih. Jadi, mereka juga nggak bisa dibilang jahat."

"Iyalah, mereka baik! Mereka cuma ... males gerak."

SunflowerWhere stories live. Discover now