BAGIAN 2

1.9K 365 197
                                    

META.

REGOL

Hei hei, apa kabar kawan
Siapkah kau untuk melangkahi masalahmu

Hadapi esok pagi
Hei hei, apa kabar kawan
Siapkah kau untuk melangkah
Ke masa depan
Menantikan pelangi

Lagu "Bahagia" dari GAC yang mengalun dari HP adalah lagu yang menggambarkan keadaanku saat ini. Ya, aku benar-benar pergi dari Garut. Pergi tanpa sepengetahuan Bapak dengan meninggalkan beberapa kalimat singkat di secarik kertas.

Pak, Meta pergi. Bapak jangan cemas. Meta akan selalu baik-baik saja.

Aku mengganti nomor telepon, kemudian menyewa indekos standar di Regol, Bandung.

Kamu tahu? Aku senang, meski mungkin Bapak sedang cemas di rumah. Oh, Sandrina juga pasti jadi bulan-bulanan Bapak. Bapak tahu kalau aku nggak punya teman dekat selain si bawel Sandrina.

Sekarang, kamar berukuran 4x6 meter adalah ruang privatku. Di kamar bercat abu-abu ini ada satu ranjang, satu lemari, dan satu meja yang sudah disediakan oleh pemilik indekos. Tentu saja, semuanya sudah kutata. Pakaian yang hanya beberapa potong aku masukkan ke dalam lemari kecil itu. Laptop yang juga kubawa sudah bertengger manis di atas meja kecil. Jika biasanya aku menyimpan laptop di meja tinggi dan duduk di kursi empuk, maka saat ini tidak lagi. Aku bisa menggunakan laptop sambil lesehan di lantai yang adem.

"Bahagia-ia-ia. Bahagia-ia-ia ....."

Aku terus bernyanyi, mengiringi suara indah GAC. Namun saat mulai masuk klimaks, tiba-tiba pintu kamarku ada yang ngetuk. Sebalnya, ketukkan itu kencang sekali. Dia sama sekali nggak menghargai kebahagiaan sederhana yang kulakukan.

Aku menyetop lagu tersebut, kemudian memilih berdiri dan membukakan pintu. Namun saat membuka pintu, kontan aku melotot.

Ngapain ada cowok di kosan ini? Bukannya ini kosan khusus perempuan? Apa aku salah pilih kosan? Rasanya nggak mungkin. Aku nggak pernah menyepelekan hal semacam ini. Meski sedang bermasalah dengan Bapak, tetapi nasihat soal 'menjaga diri' tetap kupegang. Salah satunya dengan memilih kosan khusus perempuan.

Sebelum lelaki berkumis tipis itu berbicara, aku sudah menutup pintu dengan gerakkan cepat. Tentu saja, suara pintu yang didorong spontan itu bikin diriku sendiri kaget. Ah, bodo amat. Yang penting aku aman dari cowok itu.

"Hei, kenapa ditutup?" tanyanya.

"Kamu siapa?" Aku malah balik bertanya.

"Buka bentar!" teriaknya tanpa menjawab pertanyaanku. "Saya nggak bisa jelasin apa-apa kalau kejepit kayak gini."

Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu kosan. Tapi saat pintu itu sudah terbuka, aku mendapati lelaki tadi dengan senyum lebar. Sekarang, aku bisa melihatnya bahwa dia juga berambut gondrong.

"Kejepit?" Aku memastikan lagi.

"Baru pertama kali lihat kamu, hati saya mendadak kejepit. Bikin sesak."

Aku yang sedang benar-benar cemas mengembuskan napas jengkel. Hei, apa dia sedang menggombal?

"Saya Gaya." Dia menyodorkan tangan. "Gaya Andara. Anak pemilik kosan."

"Namamu Gay ....." Ucapanku menggantung.

"Ga-ya!" Dia mempertegas. "Bukan, Gay. Enak saja!"

"Oke-oke." Aku tersenyum dipaksakan. "Sorry."

Setelah berbicara seperti itu, cowok yang mengaku bernama Gaya itu menyodorkan sesuatu.

"Ini kunci gerbang. Mama kelupaan ngasih kunci ini." Gaya tersenyum lebar. "Saya beruntung sih punya kesempatan ngasih ini ke kamu. Kayaknya Tuhan mulai ngasih petunjuk deh untuk semua yang saya lakukan di sepertiga malam."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now