BAGIAN 6

943 226 56
                                    

GAYA.

SUDUT PANDANG

"Enak kan?" tanya saya sambil menatapnya.

"Lumayan." Meta mengangguk-angguk. "Tapi aneh juga sih, barusan kan kita habis lari, terus sekarang perutnya diisi lagi sama makanan berat. Percuma."

Saya tertawa. Sepertinya, Meta ini tipe orang pemikir, bahkan untuk hal sederhana seperti makanan sekalipun. Terbukti, masalah Nasi Lengko yang dia lahap saja disambungkan dengan aktivitas jogging yang kami lakukan.

"Ya nggak percuma, dong." Saya nggak mau kalah. "Tubuh kan emang butuh asupan. Kecuali setelah lari, kita makan semua jananan di sini. Kupat tahu, tahu susu, bakso, mie ayam, pokoknya semuanya."

"Benar juga ....." Meta mengangguk-angguk. "Tapi aku nggak nyesel sih. Nasi Lengko ini enak banget. Pertama kali lho, aku ngerasain makanan ini. Perpaduan antara nasi anget, potongan tahu, potongan tempe, taburan touge, dan bumbu kacangnya selera lidahku banget."

"Pinter kan saya milih makanan?" Saya mendekatkan mulut ke telinganya. "Yang terpenting, makanannya murah. Kapan lagi jajan nasi cuma enam ribu rupiah?"

Meta tertawa sambil menutup mulut.

Setelah beres berkeliling di lingkungan Tegalega, saya memang mengajak Meta jalan-jalan menyusuri Jalan Moch. Toha. Di jalanan ini, terdapat banyak jajanan. Nggak hanya jajanan, banyak pula yang berjualan pakaian, buah-buahan, dan sayuran. Udah kayak pasar pokoknya. Nah, saya ingat juga kalau di sekitaran sini ada Nasi Lengko. Saya pernah beberapa kali makan makanan khas Cirebon ini. Jadi, apa salahnya ngajak orang Garut buat kenal makanan khas Indonesia yang lain?

Kami berdua duduk di belakang bangku yang dijadikan tempat jualan oleh si Akang pemilik Nasi Lengko tadi. Kami duduk bersebelahan tanpa banyak berbicara. Sampai akhirnya, saya menemukan topik yang sudah cukup lama bersemayam di dalam otak.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu pindah ke Bandung?"

Meta terbatuk. Aku yang kaget buru-buru mengambil air mineral, lantas menyodorkannya. "Sorry, sorry!"

"Nggak apa-apa," jawabnya setelah meneguk air. "Aku memang agak sensitif kalau ditanya alasan pergi ke sini."

Kalau begitu tanggapan Meta soal pertanyaan saya, berarti dia punya masalah serius? Saya memang sempat curiga sama dia. Bayangkan saja. Dia itu seorang influencer yang followers-nya cukup banyak. Kontennya mengedukasi. Keuangannya pasti sudah stabil. Saya pikir, dia adalah salah satu manusia ideal yang sudah hidup bahagia. Nah sekarang, dia tinggal di indekos milih Mama. Tempat sederhana di antara ribuan bangunan kos-kosan di Bandung.

"Penting banget ya pertanyaanmu?" Mata Meta menyelidik.

"Ya nggak penting sih," tanggapku. "Maksud saya, kamu nggak wajib cerita kalau masih belum mau cerita. Lagian siapa saya? Saya kan baru kenal sama kamu. Saya ngerti kok kalau kamu belum percaya sama saya."

"Bukannya gitu, tapi ...."

"Gimana kalau saya yang cerita?" Saya memotong ucapan Meta yang terasa kaku.

Meta mengangguk dengan tatapan tidak enak.

"Sudah lama saya nggak ngobrol sama cewek kayak gini," lanjut saya pelan.

"Masa?" Dia langsung menyambar dengan tatapan menyelidik. "Nggak percaya aku. Model-model gini pasti banyak modus sana-sini."

"Mungkin kalau dulu, iya." Saya menyendok nasi dengan tatapan masih tajam ke arahnya. "Tapi sejak saya putus dengan cewek terakhir satu tahun lalu, saya merasa benar-benar bosan menjalani semuanya. Terutama saat mantan saya itu ngajak nikah."

Ucapan itu disambut kikuk oleh Meta. Dia mengocek-ngocek makanan yang masih tersisa di piring. "Lha, emang seharusnya gitu kan? Cewek itu butuh kepastian, Kang Gaya."

Semua yang Meta katakan selalu diucapkan oleh mantan saya yang dulu-dulu. Masalahnya, sejak tahu Bapak ninggalin saya dan Mama, saya sama sekali mati rasa untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Saya lebih suka menjalani hubungan yang santai seperti pacaran. Kalau pun sudah nggak nyaman, saya dan pasangan bisa pisah tanpa harus ribet mikirin banyak hal.

"Kok diem?" Meta bertanya lagi.

"Saya ingat masa lalu." Saya meneguk air mineral. "Jujur, saya paling nggak suka konsep menikah. Saya lebih suka hubungan santai tanpa ikatan. Mau jalan hayuk, mau main hayuk, mau have fun hayuk, ya ... sesimpel itu."

"Enak di kamu nggak enak di ceweknya dong?" Meta menatapku tajam. "Hidup bukan hanya soal senang-senang, Gaya. Perempuan itu menyimpan beban yang besar jika berhubungan dengan pasangan. Masalah hamil di luar nikah saja pasti jadi bumerang. Dan kamu tahu, cewek lagi yang bakal kena getahnya. Udah mah dosa, keluarga pasti marah, dikucilkan masyarakat, eh, biasanya si cowok ninggalin dalam keadaan terpuruk."

Saya tertawa mendengar penjelasannya. Pikiran Meta ternyata kolot juga ya? Bisa-bisanya dia berbicara sampai sejauh ini. Bahas soal hamil di luar nikah lagi.

"Kok ketawa?" Meta menyimpan piring di depan kursi. "Menurutmu itu lucu? Apa kamu nggak lihat berita berseliweran di televisi soal cewek yang depresi karena tidak diterima lingkungan gara-gara enak-enak duluan dan berujung hamil?" Meta tertawa getir. "Sebuah hubungan itu nggak sesimpel yang kamu pikirin, Gaya. Maka dari itu, menurutku, wajar banget cewek minta kepastian. Dia nggak mau kehidupannya berjalan tanpa kepastian begitu. Apalagi kalau cewek tersebut udah ngasih semuanya ke cowok."

"Tunggu!" Saya menyipitkan mata. "Jadi kamu nyalahin cowok? Maksud saya, untuk melakukan 'hubungan yang lebih jauh' kan ada persetujuan antara kedua belah pihak. Nah, kenapa pula seolah-olah si cowok yang selalu salah?"

Meta tergelak dengan raut menggemaskan. "Nggak semua cewek punya kemerdekaan buat nolak cowok, Gaya. Ada cewek yang sayang banget sama kesucian dirinya, tapi pada akhirnya dia kasih juga ke si cowok. Alasannya? Ya karena si cewek sesayang itu sama si cowok. Dia juga berharap kalau si cowok akan terus ada di sisinya. Faktanya? Bulshit kan? Banyak cowok yang kabur. Dia milih haha hihi setelah nyakitin si cewek. Atau milih nyuruh pacarnya buat gugurin kandungan. Oh ... cowok memang simpel ya?"

Begini kalau Meta emosi? Saya lihat-lihat, dia cukup vocal dalam urusan perempuan. Melihat Meta seperti ini, saya jadi semakin tertarik sama cewek ini. Sepertinya, dia tipe orang yang susah ditaklukkan.

"Makasih sudah dengerin cerita saya," kata saya pada akhirnya. "Bahasan kita malah melumer sampai ke hamil segala."

"Ya lagian, kamu ada-ada aja nggak percaya pernikahan. Satu-satunya jalan supaya kedua belah pihak bisa bahagia ya dengan menikah. Kamu mau ngelakuin apa pun sama pasangan kamu kalo udah menikah nggak ada yang ngelarang."

Sekarang, Meta mirip seperti pemuka agama yang mengampanyekan bahwa pernikahan itu hal yang membahagiakan. Tapi tetap saja, bagi saya, pernikahan hanya mempersulit hidup. Saya dan Mama harus telantar selama tahunan saat Bapak memilih untuk melepaskan janji pernikahannya.

"Kalau aku, justru aku pengin langsung nikah saat ketemu cowok yang pas." Meta tiba-tiba berbicara seperti itu.

Aku yang masih mengunyah makanan langsung tersedak mendengar suaranya. Saya tertarik kepada Meta, tapi kamu dengar sendiri kan? Dia ingin langsung menikah! LANGSUNG MENIKAH!

Pertanyaannya, apakah saya mampu? Saya memang belum mendapatkan Meta, tapi jika kelak Meta benar-benar jatuh hati kepada saya, apakah saya bisa mengikuti kemauannya?

***

Udah playboy, nggak percaya sama nikah, terus apa lagi? Kelakuan si Gaya ini. Wkwkwk. Jangan lupa ramaikan dengan cara vote dan komen ya guys. Sampai ketemu hari Rabu di PART selanjutnya :).

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now