BAGIAN 23

413 99 20
                                    

Uhuy. Update nih. Mulai ada dilema-dilema di antara Meta dan Gaya. Jangan lupa komen dan vote yaaa.

***

META.

Ingat Orangtua

Semenjak bangun tidur sejam lalu, aku merasa ada yang aneh dengan badanku. Tungkaiku lemas. Dadaku berasa sesak, seakan ada yang sengaja menonjok-nonjok. Kemudian, aku juga merasa tidak enak hati.

Aku melirik video yang sedang diedit. Mengedit video yang nggak lebih dari 60 detik itu berasa berat banget. Video itu seolah-olah mengolok-olokku. Kamu lelah! Mending bobo lagi! Ah, aku sama sekali nggak terbiasa tidur di pagi hari. Kedisiplinan Bapak membuatku menjadi orang yang selalu merasa bersalah jika rebahan di pagi hari.

Bapak! Dia apa kabar? Apakah pagi ini masih memasak seperti biasa? Apakah pagi ini dia masih rajin melicin pakaian untuk pergi ke sekolah?

Laptop yang masih mengaga dengan hasil editan yang belum selesai, kututup rapat. Aku memilih berjalan ke sisi meja, mengambil ponsel dan mencari .... nomor Bapak. Ya Tuhan, apa aku harus menghubunginya?

Cukup lama pertanyaan itu berputar di dalam otak. Namun akhirnya, keputusanku jatuh kepada satu hal. Foto. Sepertinya, melihat foto lebih menenangkan ketimbang mendengarkan Bapak berbicara. Bapak bukan tipe orang yang bisa diam saat ditelepon. Dia pasti menanyakan banyak hal yang akan membuatku muak lagi.

Perhatianku jatuh kepada foto Bapak dan Mama yang bertengger di atas meja, persis di sisi laptop. Foto itu diambil ketika muda. Kata Bapak, itu foto saat mereka pacaran.

Aku mengusap foto kekuningan seperti mengelus wajah nyata mereka. Bapak tersenyum lebar, meski aku melihat jika garis tegasnya sudah ada sejak muda. Mama terlihat cantik. Kecantikannya memancar sampai sini. Meskipun, aku tidak pernah sedikit pun mengobrol dengannya.

"Mama baik-baik di sana ya." Ucapan itu mengudara dengan pelan. "Aku memang nggak pernah ngobrol sama Mama. Tapi aku hidup selama sembilan bulan di perut Mama. Mama tak ubah seperti akar yang selalu melindungi batang pohon dan daunnya."

Dadaku terasa lega setelah berbicara seperti itu. Apalagi, foto yang kulihat itu berubah menjadi dua, membayang. Air mata di pelupuk mata jatuh begitu saja. Untuk kesekian kali, aku menangisi seseorang yang hanya hadir dalam bayangan.

"Ma, maaf kalau aku nggak bisa hidup lebih akur sama Bapak. Mungkin Mama sedih lihat aku dan Bapak seperti sekarang. Tapi ya, hidup memang harus selalu memilih, kan? Meskipun pilihan itu bisa menyakitkan."

Aku menyimpan lagi foto berukuran 4R itu. Kesedihanku terinterupsi pula oleh ketukkan di depan pintu. Spontan, aku menyeka mata, berusaha menghilangkan jejak kesedihan yang mungkin bisa bikin orang iba.

"Memet ....."

Suara Gaya mengayun pelan. Dia mirip seperti anak kecil yang sedang mengajak anak lainnya bermain.

"Ga-ya ....." Aku mengikuti caranya berteriak, disusul tawa kami yang bersautan.

Saat membuka pintu, aku melihat cowok itu tersenyum lebar. Rambut panjangnya diikat, mirip seniman muda. "Waw."

"Kenapa?" Kedua alisnya menaut.

"Emang salah kalau aku bilang Waw?"

"Ya maksud Waw itu apa?" Dia mencebik. "Apa saya ganteng, saya memesona, atau gimana?"

"Semuanya!"

Kata-kata itu nggak benar-benar sadar aku ucapkan. Respons lainnya dari ucapan tersebut membuat satu tanganku menutup mulut, kemudian menaboknya kesal. "Enggak. Maksudku ...."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now