BAGIAN 33

339 85 16
                                    

Uhuy. Jalan-jalan lagi nih. Jangan lupa VOTE dan KOMEN guys. Selamaat membaca :)

***

META.

KADO

Bapak udah sampai rumah kan?

Semoga bapak baik-baik aja.

Aku melihat isi chat itu lamat-lamat. Belum kukirim, baru diketik. Kejadian kemarin memang menjadi salah satu kejadian yang nggak diduga-duga. Tapi, membiarkan Bapak, tanpa bertanya juga bukan aku banget. Bapak tetap Bapak. Aku khawatir.

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya memijit tombol kirim. Mengirimi chat saja seperti akan mengirim bom atom. Aku benar-benar nggak tahu, gimana hubunganku kedepannya dengan Bapak. Yang jelas, setelah satu menit pesan itu sampai, aku menekan dada. Semoga dia masih menganggapku sebagai anak.

Udah siap?

Itu chat dari Gaya.

Udah stand by di depan. Sama si merah.

Aku menghela napas, kemudian menarik tas yang sudah disiapkan di atas ranjang. Oh, sepertinya nggak perlu bawa tas. Ribet juga kan? Aku berpikir jika malam ini Gaya nggak akan bawa aku ke tempat-tempat bagus. Tas hanya akan jadi pajangan kan? Pelan, aku lembar kembali benda itu.

Saat sampai di luar gerbang, aku melihat Gaya tersenyum lebar. Senyum yang nyaris selalu meluruhkan perasaan gelisah. Rambutnya diikat ke belakang, yang kontan menampakkan kegagahannya. Ah, andai aku nggak ketemu Gaya, mungkin saat ini aku sedang menangis kejer di kosan, meratapi kejadian demi kejadian itu.

"Wiiiih." Gaya berdecak. "Kayaknya ada yang baru keluar dari gua."

"Masa?"

"Iya." Gaya menilik-nilik aku dari atas sampai bawah. "Kelihatan seneng soalnya. Kayak baru lihat cahaya."

Aku tersipu. Gaya hanya menggerakkan kepala, tanda kalau aku harus segera naik.

Pelan, aku naik motor itu. Jika biasanya aku duduk meminggir, kali ini aku duduk seperti si sopir membawa motor. Aku memakai celana panjang juga, jadi lebih fleksibel.

Jujur, tadinya aku akan mendekam di kamar sampai besok. Tapi aku sadar, aku sudah menghabiskan energi terlalu banyak, padahal, masih banyak yang harus kuhadapi. Terutama projek dan kerjaan.

"Mau ke mana, Bu?"

"Bebas!" tegasku.

"Jalan-jalan aja gimana? Udara malam di Bandung nyegerin lho."

"Boleh. Aku percayakan semuanya kepada Bapak Gaya."

Motor itu melaju pelan, sementara tanganku perlahan terlingkar di perut Gaya. Nyaman rasanya. Aku belum pernah senyaman ini bersama dengan seorang cowok. Kadang, aku suka malu sendiri. Di awal-awal, bukankah aku jijik sama cowok ini? Sekarang, nggak ada yang nyangka kalau Gaya adalah salah seorang manusia yang dekat denganku.

Motor Gaya melaju dari Jalan Pungkur ke Jalan Dewi Sartika. Sementara dari kendaraan yang mulai masuk jalan itu, aku melihat menara mesjid agung Bandung yang terlihat megah dan bercahaya. Sungguh, hatiku damai melihat rumah ibadah itu.

Di pinggir-pinggir jalan utama ini, aku melihat toko-toko yang ramai. Muda-muda, rata-rata berpasangan, terlihat memenuhi café-café, warung-warung, bahkan toko-toko pakaian yang berjejer rapi, hingga aku masuk ke wilayah mesjid. Di dekat lapangan, ramai dipenuhi orang-orang. Berbagai pedagang sepertinya menjadi primadona di sini.

"Ke Braga aja yok?" Gaya berucap lagi.

"Ayo."

Motor Gaya masuk lagi ke jalan lebar. Kemudian beberapa menit setelah itu, motornya masuk Jalan Asia Afrika. Aku selalu senang saat melewati jalan ini. Tatanan kota yang rapi, gedung-gedung unik dan antik, menjadi salah satu pemandangan yang nggak bisa dilewatkan. Di malam hari, jalanan ini nggak berkurang keindahannya sama sekali. Yang beda mungkin cuma satu, yaitu setan. Jika siang banyak orang yang berubah jadi kuntulanak dan antek-anteknya, yang juga sering bikin para pengunjung ketakutan, malam ini sepertinya berpeluang ada setan beneran.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang